Thursday, May 13, 2004

Selamat datang di situs blog saya
sebagai warga Epistoholik Indonesia,



Nama saya, FX Triyas Hadi Prihantoro. Tempat dan tanggal lahir : Ungaran 3 November 1966. Pendidikan akhir di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1991. Kini berdomisili di Solo dan mengajar di SMA Pangudi Luhur St. Yosef Surakarta. Keluarga : 1 istri dan 2 anak

Saya aktif menulis sejak bekerja namun untuk kalangan sendiri dan mengirimkannya ke media massa baru pada akhir tahun 2003. Debut saya sebagai epistoholik setelah tulisan kolom saya dimuat di harian SOLOPOS, 23 Oktober 2003.

Sejak itu mengamuk menulis di media massa, baik untuk surat kabar terbitan Solo seperti Bengawan Pos dan Solopos, mau pun surat kabar Yogyakarta seperti Bernas dan KOMPAS (edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta) Koran Sore WAWASAN, Koran Tempo, SUARA MERDEKA, Majalah Hidup, Educare, Matabaca, BISMA. Kini tiap minggu hampir minimal ada satu media yang memuat tulisan saya. Kepuasan batin bila dimuat memang tak ternilai harganya. Hobi saya selain menulis adalah melakukan perjalanan wisata (travelling)

Untuk Anda pembaca yang budiman, dan sesama kaum epistoholik, saya haturkan selamat menjelajahi album surat-surat pembaca yang saya tulis dalam situs ini.
Dan pula dapat melihat dalam aktifitas saya sebagai admin sekolah tempat mengajar: http://styosef.pangudiluhur.org

Silakan memberi komentar, masukan dan saran, dengan mengklik nama saya di bawah ini. Atau mengirimkannya ke email : http://www.blogger.com/triyas@telkom.net. atau triyas@yosef-slo.sch.id Saya akan selalu menyambutnya dengan terbuka dan penuh kegembiraan. Terima kasih.

Hormat dan salam saya,


Solo, 9 Mei 2004



FX Triyas Hadi Prihantoro

---------------

(17)ATRAKSI "TOPENG MONYET"
Dimuat di kolom Bebas bicara Harian Bernas, tanpa data tanggal.


Dung..cik..cik..dung…cik, seorang pengendara sepeda dengan seekor monyet didepan beserta barang-barang yang menjadi boncengannya, melewati sebuah perkampungan. Banyak anak-anak kecil berlari-lari mengikuti kemana dia berkeliling kampung, selagi bisa diikuti dan tidak jauh dari tempat tinggal mereka.

Ketika ada seseorang menanggap, maka anak-anak kecil dan beberapa orang dewasa serta keluarga penanggap mengelilingi cara atraksi dadakan tersebut. Dung..dung..cik..dung..cik, begitu suara musik pengiring dan kemudia si pemilik monyet menyuruh monyetnya mengenakan topeng dan lalu berkata " Si Bejo sedang belanja kepasar", kemudian " Si Bejo… naik sepeda mau ke kantor", dan pada saat si monyet yang bernama Bejo tersebut melakukan atraksi maka penonton yang terdiri dari anak-anak pun bersorak-sorak kegirangan memberi aplaus. Dan begitu seterusnya sampai atraksi yang dilakukan si Bejo selesai.

Atraksi si Bejo adalah atraksi sesaat yang dinikmati oleh masyarakat Kampung. Namun apakah atraksi kampanye calon presiden juga demikian? Tentu harapannya tidak, karena akan berimplikasi 5 tahun kedepan.
Tulisan ini terinspirasi oleh tayangan sebuah stasiun TV Swasta ketika 2 capres saling berdebat yang di fasilitasi oleh sebuah organisasi kepemudaan terbesar (KNPI) baru- baru ini. Dimana saat panelis bertanya kepada masing-masing capres daan saat capres menjawab, serta belum selesai menjawab sudah terdengar gemuruh para penonton memberi aplalus dengan tepuk tangan dan sorakan.(padahal mereka yang hadir rata-rata berpendidikan) Sampai-sampai caapres yang ditanya menghentikan sesaat argumentasinya demi menunggu ketenangan suasana.
Sebegitukah sebuah acara debat capres yang menjadi acara unggulan beberapa stasiun TV saat ini, yang bagaikan sebuah tontonan/hiburan sesaat. Tentu tidak?!

Pemilu Presiden dan wakil bukanlah sebuah atraksi "topeng monyet", setelah selesai pentas, kemudian pergi mencari rejeki di tempat lain, kemudian selesai. Bukan juga seperti si Bejo yang memakai topeng yang menjadikan dia tampan, baik hati, dermawan, peduli kepada orang lain, namun juga hanya sesaat, karena toh kemudian topeng akan di lepas dan kelihatan aslinya si Bejo "monyet".

Mari kita kritisi setiap tindakan, kata-kata, janji, harapan, yang tidak sejalan dengan realita. Jangan sampa janji yang di ucapkan oleh para capres bersama tim suksesnya hanya sebuah fatamorgana di padang pasir.

FX Triyas Hadi Prihantoro
Warga EI (Epistoholik Indonesia)
http://epsia.blogspot.com

---------------

(16) PEMBELAJARAN SEKS BAGI PELAJAR
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng-Jogia), 24/5/2004


Berkembangnya media informasi menambah semakin banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pelajar, orangtua dan guru. Pembagian usia bagi pelajar, yang merupakan kaum remaja akan mengalami banyak perubahan, baik fisik, psikis, maupun sosial. Salah satu perkembangan/hasrat yang cukup sulit dikendalikan adalah hasrat dorongan seksual.

Banyaknya kasus pelecehan seksual sampai perkosaan yang menimpa pelajar membuktikan bahwa di Indonesia pendidikan seks dianggap masih tabu.

Dalam era globalisasi dan didukung pesatnya kemajuan teknologi, khususnya bidang informasi dan komunikasi; berimplikasi kepada perubahan budaya perilaku manusia, khususnya kaum remaja. Salah satu budaya yang paling mudah untuk mempengaruhi kaum remaja adalah pergaulan bebas, seks bebas, selain pengaruh budaya lain yang tidak kalah dahsyatnya, misalnya penyalahgunaan narkoba.

Untuk mengantisipasi minimnya pengetahuan seksualitas bagi kaun remaja yang umumnya kaum pelajar, perlu format pendidikan seks yang baik dan benar Paradigma lama bahwa pendidikan seks itu tabu harus diubah dengan paradigma baru bahwa pendidikan seks itu penting diberikan sejak dini.

Dengan materi, silabus, serta kerangka pembelajaran yang dimasukkan dalam proses belajar mengajar, baik untuk selcolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA), bahkan untuk anak SD, sebenarnya sudah layak untuk mengetahui apa itu seks, meski dengan kedalaman materi yang disesuaikan dengan tingkat kedewasaan siswa.


FX TRIYAS HADI PRIHANTORO
Pengajar SMA Pangudi Luhur St. Yosef
Jalan Adisutjipto, Surakarta

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004

--------------------


(15) SAMA SAMA SALAH.........
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian SOLOPOS (Solo), 24/5/2004


Jeritan hati dari pengalaman. Saudara Moh Kusnan Hidayat (SOLOPOS 11/5) pada. bulan Mei 1998 silam ketika. masih kuliah di Malang tidak salah. Hampir semua elemen mahasiswa waktu itu turun ke jalan dan mengalami tindakan represif aparat keamanan (polisi/tentara). Dan memang sakit hati dan raga ini. Namun, kejadian. itu ternyata berulang?ulang sampai saat ini. . Peristiwa berdarah?darah di negeri ini seolah?olah tiada hentinya. Masalah timbul silih?berganti bagaikan air mengalir.

Mau dibawa kemanakah negeri ini? Budaya mencati kebenaran dan saling menyaahkan seolah nierupakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Virus maupun bakteri provokator seakan-akan menggerogoti ide persatuan dan kesatuan para founding fathers kita. Bila. mereka. masih bisa merasakan. dan melihat tentu akan menangis tiada henti. Mengapa ini bisa. terjadi?

Untuk itu marilah kita introspeksi diri karena hakikatnya kita sama?sama salah. Di satu pihak tidak bisa mengendalikan diri, baik jiwa maupun sikap, dan di lain pihak juga. terlalu arogan serta tidak mau disalahkan. Janganlah kita mudah untuk dimasuki virus provokator, karena virus itu bisa masuk kemana saia lewat apa saia (masyarakat mahasiswa, aparat) melalui penyusupan yang kita sendiri kadang tidak bisa merasakan.

Marilah kita bersama-sama melakukan vaksinasi kekebalan dengan menumbuhkan semangat kebangsaan, rasa cinta Tanah Air yang tinggi serta mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi/kelompok. Masak lidi saja bisa. bersatu, kita malah bercerai?berai ?

Para tokoh masyarakat, agama, Ormas, mahasiswa, politik, pendidikan dan siapa saja berilah keteladanan agar dapat dijadikan contoh panutan mereka yang mengagurnimu.

Kalau masing?masing pihak bisa melihat pengalaman sejarah dengan mengakui kesalahan, maka tindakan kekerasan yang akhir?akliir ini terjadi lagi akan berkurang bahkan hilang.

Mari kita eliminasi kekerasan dan kita dukung kedamaian. Semoga !


FX Tryas Hadi Prihantoro
Guru SMA PL St.Josef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004

---------------------------


(14) YANG DIKUYO-KUYO YANG DIPERCAYA
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Bengawan Pos (Solo), 21/5/2004


Fenomena "dikuyo?kuyo" di Indonesia bukan hal yang baru. Dikuyo?kuyo dapat diartikan tidakdisenangi atau mau disingkirkan, dipercaya, dibenci, tidak diakui keberadaannya serta masih banyak lagi arti dan maksudnya tergantung konotasi bahasanya.

Dalam sejarah perpolitikan, sebelum Megawati menjadi presiden RL dia pernah di kuyo?kuyo oleh rezim Orde Baru. Dari fenomena tersebut akhirnya mendapat simpati rakyat Indonesia, sehingga Pemilu 1999 PDI Perjuangan mendapatkan suara terbanyak dari48 partai politik peserta pemilu waktu itu. Sudah sewajarnya bilapartai pemenang pemilu pemimpinnyar menjadi presiden.Namun karena adanya fenoniena PorosTengah akhirnya Mega gagal untuk menjadi Presiden. Maklum waktu itu yang berhak memilih Presiden dan wakilnya adalahMPR.

Awal tahun 2003 muncul fenomena kuyo?kuyo baru dalam bidang entertainment Indonesia. Inul sebagai Sang fenomena tidak diterima oleh para seniornya karena goyang ngebory ang dianggap erotis. Namun karena kuyo?kuyo dari para penyanyi senior dangdut.malah justru mendapat simpati dari seniman lain, misalnya dari ketua PARSI (Persatuan Artis Sinetron Indonesia), Anwar Fuady bahkan juga tokoh?tokoh politik banyak yang membela Inul, termasuk juga masyarakat Indonesia pada umumnya.

Menjelang Pemilu 2004 inipun terjadi juga sebuah fenomena, dimana seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dianggap sebagai anak kecil ketika mengkampanyekan pemilu damai (dalam jabatannya sebagai Menko POLKAM waktu itu) oleh suami Presiden Megawati.

Akhirnya SBY mengundurkan diri sebagai Menko POLKAM. Dan kemunduran ini banyak menyita perhatian para kuli tinta, sehingga hampir semua media massa Indonesia baik cetak mau pun elektronik memberitakan fenomena ini sebagai berita utama maupun opini.

Kasus kuyo?kuyo SBY justru menjadikan partainya sebagai peserta pemilu 2004 yang baru (Partai Demokrat), dalam penghitungan suara banyak mendapat simpati/kepercayaan rakyat (5 besar perolehan suara Nasional). Hal ini juga Partai Demokrat salah satu partai yang lolos electoral threshold, untuk menggolkan calon presidennya yaitu SBY sendiri.

Demikian juga ketika konvensi Partai GOLKAR untuk memilih calon presidennya, fenomena terpilihnya Wiranto sebagai calonnya karena perolehan suaranya yang banyak, menunjukkan bahwa banyak sekali terjadi kejutan. Banyak orang "kecele", karena prediksinya meleset.

Fenomena semacam ini menjadi menarik, karena para tokoh tersebut tidak melihat sejarah perpolitikan Indonesia. Semakin disingkiri semakin mendapat simpati/kepercayaan rakyat. Apalagi Pemilihan Presiden dan wakilnya sekarang langsung dipilih rakyat, maka usaha koalisi akan sia?sia. Rakyat sekarang sudah cerdas dan tidak bisa dibodohi lagi. Maka saemakin sering melakukan tindakan/usaha untuk memojokkan seseorang, semakin sering menjadi pemberitaan media massa, semakin pula dicintai rakyat.

Oleh karena itu pemilihan pasangan presiden dan wakil tanggal 5 Juli 2004 nanti menjadikan alat bukti bahwa seorang tokoh yang semakin dikuyo?kuyo oleh Pemerintah/tokoh/organisasi/kelompok lain akan "mungkin" semakin mendapat kepercayaan rakyat. Biarkan para calon presiden yang berminat diberi kesempatan, karena alam (rakyat)lah yang menyeleksi.

Namun yang tetap menjadi harapan kita semua agar pembelajaran politik bangsa Indonesia saat ini dapat berjalan dengan semestinya. Mari sukseskan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.


FX Tryas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA Pangudi Luhur Santo Josef
Surakarta

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004


----------------------------


(13) BUDAYA "ASBUN"
Dimuat di kolom Bebas Bicara Harian BERNAS (Yogyakarta), 14/5/2004

DALAM suatu perbincangan di warung makan/tempat publik/dalam bus/halte (skup kecil) sambil istirahat untuk menunggu disajikan makanan/bus datang ataupun aktivitas yang lain sering terjadi perbincangan antara beberapa orang yang duduk bersebelahan mengenai suatu hal yang aktual, bisa politik, ekonomi/sosial/ budaya maupun hankam.

Perbincangan yang terjadi sering bisa "gayeng", karena akan muncul "kesombongan diri", yang pada akhirnya lahir kritikan?kritikan baik kepada pemimpin maupun sesama. Akhirnya di suatu perbincangan muncul tanggapan atau usul dari "mereka", yang suka mengkritik bila diberi kesempatan untuk melaksanakan tugas bagaimana sikap yang diambil ? Biasanya akan mengelak bila diberi tanggungjawab, dengan berbagai alasan.

Dalam skup yang lebih mapan, misal dalam rapat?rapat di tingkat RT/RW kantor maupun organisasi?organisasi yang lain, sering muncul usulan?usulan dari orang yang idealis.

Usulan yang disampaikan umumnya sangat bagus dan mereka yang hadir dalam rapat maupun pemimpin rapat banyak yang memuji usulan itu. Lagi?lagi ketika "mereka" yang usul diberi kesempatan untuk mentackle rencana kegiatan yang dirapatkan, bisa sebagai penanggungjawab atau pelaksana, biasanya juga akan menolak. Alasannya pasti macam?macam juga (sibuk, repot, masih ada yang lebih mampu dll).

Banyak bicara dalam suatu pertemuan itu sering menjadi ciri orang?orang yang punya keinginan/ambisi. Namun kadang?kadang apa yang diusulkan/dibicarakan isinya tidak ada, bagaikan tong kosong berbunyi nyaring atau air beriak tanda tak dalam karena tidak berdasar fakta dan realita. Budaya "Asbun", itulah yang pantas diberikan kepada "mereka".

Demikian juga skup yang lebih besar (negara) pelaksanaan tahap ke 4 pemilu, yaitu masa kampanye di mana jurkam parpol maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah) pasti menyampaikan program?program yang baik dan bermutu. Hampir di setiap sudut desa/ kelurahan di kota maupun tempat strategis lainnya banyak pamflet/ spanduk yang memprogandakan idealis parpol baik berupa visi maupun misi masing?masing.

Pada saat kampanye para jurkam "tidak ada" yang berbicara mengenai hambatan/kedlala yang terjadi bila mereka terpilih, yang ada harapan-harapan/janji?janji yang kelihatan "indah" didengar. Janji/pidato politik hanyalah sebuah "janji semu", karena janji tersebut sering berulangkali didengar minimal setiap 5 tahun sekali di Republik ini.

Toh akhirnya ketika "mereka" sudah duduk di kursi empuk "legislatif”, lupa akan janjinya saat kampanye. Yang diharapkan dari pemilih adalah kesediaan berbuat bermanfaat yang lebih banyak (willingness to do more). Aktivitas kongkrit dengan bukti aktuallah yang menjadi harapan, khususnya setelah terpilih.

Budaya "Asbun" memang seringkali jadi suguhan yang menarik pada masa kampanye lalu. Kalau itu masih terus melekat pada para caleg, maka sangat layaklah banyak pihak menyebut "politisi busuk". Namun kita hanya bisa berharap agar, budaya asbun jangan dijadikan legitimasi bagi calon pemimpin/ penentu kebijakan kita 5 tahun mendatang.

Sekarang, setelah penetapan calon anggota legislatif, dan mereka yang duduk di kursi empuk kita tunggu janji-janjinya yang telah diobralkan kemarin saat kampanye.

Masyarakat sudah kritis, banyak catatan?catatan yang menjadi PR anggota baru dewan kita yang terhormat. Mari kita tunggu bukti kata-kata mereka. Jangan sampai ada bantahan memang lidah tak bertulang.


FX Triyas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA PL ST Yosef
Jl. Adisucipto Surakarta

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004


---------------------------


(12) PENGANGGURAN, PR TAK PERNAH SELESAI
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng-Jogia), 14/5/2004

Bila membaca dan mencermati indikator penduduk miskin berkurang di Jawa Tengah, yang merupakan perbandingan antara tahun 1996,1999, 2002 dari Kompas edisi Jateng dan Jogja 5 Mei 2004, ternyata cukup melegakan. Meski dalam perjalananan angka penurunan itu tak terlalu drastis, yang jelas tiap daerah mengalami penurunan meski ada juga yang meningkat.

Dari keseluruhan wilayah Jawa Tengah, jelas ada penururan yang cukup signifikan. Sebagai contoh tahun 1996 sebesar 21,6 persen, tahun 1999 sebesar 28,5 persen, dan tahun 2002 sebcsar 23,1 persen. Jadi, antara tahun 1999?2002 persentase penduduk miskin di Jawa Tengah turun 5,4 persen.

Penduduk miskin berkurang dapat pula diartikan angka pengangguran yang berkurang, namun betulkah realita di lapangan menjawab semua itu ? Hal ini saya pertanyakan karena ada sedikit pengalaman yang mengusik pikiran berdasrkan suatu perjalanan sehari.

Pada 3 Mei yang lalu, saya mengadakan perjalanan dari Kota Solo ke Ambarawa dengan menggunakan bus ekonomi. Yang mengusik pikiran saya adalah ketika bus berhenti di setiap sub terminal. Ketika bus berhenti, naik pula beberapa. orang minimal tiga orang, masing?masing menawarkan jasa maupun barang. Untuk jasa biasanya para pengamen dan barang adalah penjual makanan dan minuman.

Saya mencoba menghitung para pengasong dan penjual jasa lainnya dari satu terminal besar yang satu dengan terminal besar yang lain melewati tiga sub terminal. Setiap berhenti, minimal ada tiga orang selain penumpang yang menawarkan jasa atau dagangan, maka perjalanan antara Solo ?Bawen ada sekitar 68 orang yang berprofesi sebagai pengasong jasa dan dagangan. Ini untuk satu bus yang satu arah ke Semarang, belum bus yang di depan dan belakang yang menuju Solo, mungkin dapat dihitung sendiri.

Dari gambaran itu jelas sekali bah'wa betapa masyarakat masih sulit mencari pekerjaan tetap dan berpenghasilan pasti. Mereka mau bekerja apa saja demi menyambung hidup. Apakah untuk kelompok ini dapat dikategorikan orang yang bekerja, kaum miskin, atau sebagai pengangguran aktif. Yang jelas, mereka tidak mendapatkan berbagai tunjangan layaknya pekerja tetap.

Di satu sisi, masih banyak orang muda yang berstatus tidak bekerja atau penganggur yang hanya melamar kerja ke sana ke mari, sekolah terus menerus tanpa dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat.

Itulah fenomena perjalanan saya melewati lima wilayah kota dan kabupaten, yaitu Surakarta, Sukoharjo, Boyolali, Salatiga, dan Semarang. Dan, kalau kita lihat indikator penduduk miskin di lima kota tersebut kurun waktu 1999?2002, Kota Surakarta (turun 3 persen), Kabupaten Sukoharjo (naik 3,5 persen), Kabupaten Boyolali (turun 6,1 persen), Salatiga (naik 4,7 persen), dan Semarang (turun 5,5 persen).

Ada dua daerah yang mengalami kenaikan dan tiga daerah yang mengalami penurunan. Angka?angka yang bersumber dari BPS Jawa Tengah itu dapat dijadikan PR (pekerjaan rumah) para kepala daerah, khususnya kota dan kabupaten.

Pengangguran merupakan PR dari pemerintah kota dan kabupaten sekaligus juga provinsi yang tak kunjung selesai.


FX TRIYAS HADI P
Pengajar SMA Pangudi Luhur St Yosef
Jalan Adi Sucipto Surakarta


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 31/5/2004


---------------------
------------------------------------------

(11)PEMILU DIULANG TIDAK MANUSIAWI
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng/DIY), 24/4/2004



TAHAPAN pemilu ke﷓4, proses pemungutan suara tanggal 5 April 2004 telah usai. Sekarang menginjak tahapan berikutnya yaitu penetapan calon anggota legislatif DPRD II, DPRD I, DPR Pusat dan DPD.

Yang menarik untuk dikritisi adalah wacana penolakan 19 partai politik di tingkat nasional terhadap hasil pemilu serta aksi walk out 21 calon anggota DPD Jawa Tengah ketika proses penghitungan suara di KPU Jawa Tengah, karena banyak ditemui banyak kecurangan. Bahkan, banyak yang menghendaki pemilu ulang.

Rakyat yang sudah bersusah payah mendukung demi berjalannya pemilu. dengan aman, damai, dan transparan dengan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran ternyata dipandang sebelah mata oleh beberapa parpol dan peserta pemilu, dari unsur DPD dengan menghendaki penghitungan suara dan pemilu ulang.

Menurut saya "mereka" kurang berpikir jernih. Karena pemilu yang menghabiskan dana triliunan rupiah seakan-akan tidak berguna.

Mungkin pengalaman kecil ini dapat berguna untuk membuka mata dan hati mereka yang menolak hasil pemilu. Di mana untuk pelaksanaan pemilu di Indonesia tentu dibutuhkan puluhan ribu tempat pemungutan suara (TPS) dan di tiap﷓tiap TPS ada beberapa orang (7) sebagai Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS).

Selain tentunya ada yang menjadi anggota KPUD, Panwas pemilu, dan Pemantau Independen lainnya.

Dalam proses penghitungan suara tidak semudah yang dibayangkan, sehingga rata﷓rata di tiap TPS baru dapat merampungkan proses penghitungan dan pembuatan administrasi berita acara antara pukul 24.00 ﷓ 02.00 dini hari.

Padahal, ketika proses persiapan TPS, para anggota KPPS sudah lembur sampai dini hari pula dan juga harus hadir pada saat pencoblosan di TPS tempat bertugas paling lambat pukul 06.00 pagi.

Seperti yang dialami orang tua saya sebagai anggota KPPS. Sebagai seorang pensiunan yang usianya sudah di atas 60 tahun, tentu stamina dan tenaganya sangat terbatas. Karena dipercaya dengan penugasan untuk menyukseskan pernilu, sebagai anggota KPPS, sudah semestinya segala aturan main yang ada dijalani.

Karena dua hari dua malam tanpa istirahat yang cukup demi "hajatan" nasional serta kondisi yang sudah tidak prima lagi, maka hari berikutnya beliau mengeluh sakit. Akhirnya diperiksakan ke doktercdan harus istirahat total untuk sementara waktu.

Lalu, resep obat dari dokter dibelanjakan dengan total biaya mendekati angka Rp 100 ribu. Ironisnya, tanda kasih sebagai anggota KPPS selama dua hari menclapat Rp 80 ribu (per hari Rp 40 ribu), jadi harus tombok. Sudah tenaga, pikiran, waktu tersita, ujung﷓ujungnya menderita sakit dan biayanya besar lagi.

Ini baru. satu kasus yang menimpa rakyat kecil guna menyukseskan pemilu. Maka dari itu, apabila ada pihak﷓pihak yang menolak (partai politik poserta pemilu, calon anggota DPD yang umumnya tidak memperoleh suara yang signifikan, dan LSM, serta segelintir mahasiswa yang idealis) berarti tidak manusiawi.

Karena ada juga kasus di TPS tertentu di mana salah satu anggota KPPS meninggal dunia saat bertugas. Belum yang kemudian sakit seperti orangtua saya. Dalam hal ini bila "mereka" yang lolos menjadi anggota Dewan apakah juga peduli terhadap segala jerih payah, usaha, tenaga, dan daya para orang﷓orang yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu ini?

Banyak tokoh berpendapat, penolakan pemilu merupakan sikap yang tidak menghargai rakyat yang telah secara ikhlas menyukseskan pesta demokrasi tersebut. Bahkan, bukan hanya tidak menghargai, tapi tuntutan agar KPU menggelar pemilu ulang merupakan penghinaan terhadap rakyat.

Oleh karenanya, apa yang telah kita laksanakan bersama "Pemilu. Damai", mari kita evaluasi bersama dengan mengkritisi secara bijak. Memang, tidak mudah untuk melaksanakan Pemilu 2004 yang rumit ini (khususnya untuk pengisian caIon anggota legislatif).

Kita harus menghargai kinerja kita, dan permintaan pernilu. ulang berarti tidak manusiawi.

Fx Triyas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA Pangudi Luhur St. Yosef
Jalan Adisutjipto, Solo

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004


--------------------

(10)SATRIO PININGIT JILID 2
Dimuat di kolom Redaksi Yth, Harian Kompas (Edisi Jateng/DIY) 13/4/2004


Fenomena saat menjelang Pemilu 2004 lalu muncul wacana politisi busuk, politisi berijazah palsu, sakit ingatan, umur palsu, beraroma KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), tidak menjalankan amanat UUD 1945 dan peraturan﷓peraturan yang ada di bawahnya, semua itu sangat gencar.

Sampai akhirnya muncul daftar orang﷓orang yang dianggap sebagai politisi busuk dan harus dihindari untuk didukung dalam Pemilu 2004.

Meski parameter yang dibuat LSM untuk menvonis politisi busuk banyak disanggah oleh mereka yang masuk daftar, namun wacana tersebut dapat sebagai pembelajaran politik bagi rakyat untuk mencermatinya.

Hal tersebut berbeda, dengan fenomena menjelang Pemilu 1999, di mana isu satrio piningit yang akan mengentaskan bangsa Indonesia dari krisis multidimensional begitu. membahana.

Waktu itu tokoh-tokoh yang masuk daftar satrio piningit antara lain Nurcholish Madjid, Sultan Hamengku Buwono X, Amien Rais, KH Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono sampai Megawati.

Banyak harapan dan rakyat setelah lahir satrio piningit bangsa Indonesia segera terbebas. Namun, kenyataan memang tidak bisa. sesuai harapan. Dari sini lahirlah frustrasi dari anggota partai mau pun rakyat atas kebijakan pemerintah yang dianggap lamban muncul, sehingga lahir partai sempalan baru.

Mengapa sekarang tidak muncul fenomena satrio piningit ? Apa rakyat sudah bosan dengan janji﷓janji ? Atau karena realitas politik, berbicara lain?

Saat masa kampanye lalu, wong cilik dapat dengan mudah mendapatkan uang, kaus, sembako, pengobatan gratis, karena para kontestan Pemilu berlomba﷓lomba menarik simpati rakyat. Tetapi lima tahun dalam perjalanan waktu mendatang apa kemudahan-kemudahan itu juga dapat dirasakan ?

Tentunya, itu semua tidak dapat lepas dari datangnya satrio piningit yang dengan bijaksana membuat aturan-aturan yang berpihak pada rakyat kecil.

Mari kita tunggu satrio piningit jilid 2 yang langsung kita pilih sendiri. Jadi jangan sampai keliru. Pemilu 5 April 2004 telah usai dengan aman dan damai. Sekarang kita menunggu sambil berharap partai mana yang sekiranya dapat mengusulkan calon pasangan presiden dan wakil.

Karena pemilu kali ini pun penuh dengan kejutan-kejutan, di mana banyaknya massa dalam kampanye belum tentu menentukan banyaknya perolehan suara.

Bagaimanapun kita masih menunggu kedatangan satrio piningit. Semoga bukan hanya sekedar harapan.


Fx Tryas Hadi Prihantono
Guru SMA PL St. Yosef, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

---------------------

(9)SEANDAINYA. WARTAWAN JADI CALEG..
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 29/3/2004


Membaca, menyimak, mencermati fenomena perpolitikan di negeri ini sangatlah dinamis. Banyak muncul pro kontra, kadang terjadi persinggungan hingga muncul korban, namun tak jarang pula kelihatan sayuk rukun dengan sendau gurau sambil melemparkan jargon-jargon yang menghidupkan suasana.

Media massa yang sudah bonafid biasanya memasang rambu﷓rambu dalam tiap terbitannya, antara. lain bahwa wartawannya yang bertugas disertai tanda pengenal serta. surat tugas dan tak menerima tanda. mata. berupa arnplop maupun barang dari narasumber.

Maka, ketika ada. salah satu organisasi, kelompok maupun perorangan memberikan tali asih kepada wartawan sebagai ucapan terima kasih karena peliputannya yang dimuat di media massa (koran) itu maka melalui pimpinan redaksi akan segera mengembalikan ke pihak pemberi. Kadang tidak tanggung-tanggung bentuk barang maupun uang yang diberikan, namun karena kode etik profesi dan mental serta moral, banyak wartawan yang tidak tergiur iming﷓iming itu.

Ketika seorang Jayasuprana mengatakan bahwa mantan Presiden Abdurrahman Wabid (Gus Dur) "jatuh" karena lupa memberi amplop kepada wartawan (kolom Nama dan Peristiwa, KOMPAS, 10/2), itu langsung diklarifikasi Rosiana Silalahi, seorang jurnalis SCTV bahwa pernyataan itu mencerminkan pelecehan dan penghinaan luar biasa berdasarkan generalisasi serampangan pada profesi jurnalis.

Maka, seandainya para wartawan menjadi anggota legislatif untuk Pemilu 2004, mungkin untuk lima tahun mendatang kebijakan﷓kebijakan yang muncul akan sedikit terbebas aroma KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Mengapa demikian ?

Dijajaran redaksi dari pimpinan sampai reporter, di situ jarang tertulis gelar akademik. Padahal kita tahu, mereka bisa menjadi wartawan tentu berpendidikan tinggi. Sehingga kecil kemungkinan mereka berijazah palsu, dan kalau terjadi berarti berita yang ditulisnya juga palsu. Yang paling mendasar, para wartawan banyak menolak amplop dari narasumber demi akurasi pemberitaannya serta independensi profesi.

Dari dua hal itu saja berarti mentalitas untuk menjadi koruptor akan kecil, karena namanya mental akan terbentuk dari kebiasaan dari rutinitas kehidupan sehad﷓hari. Bahkan para wartawan akan tersinggung apabila dikatakan menerima amplop. Sampai﷓sampai demi sebuah berita yang benar, nyawa pun berani dikorbankan (kasus Udin, dsb).

Maka, saya berandai﷓andai .... seandainya wartawan banyak yang mau jadi Caleg, maka fenomena "politisi busuk" tidak akan menjadi sebuah wacana yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan sengit antara mereka yang pro dan kontra.


FX Triyas Hadi Prihantoro
Banjarsari, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004
----------------------


(8) KETELADANAN PEMIMPIN
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Bengawan Pos (Solo) 25/3/2004


Masa menjelang Pemiju merupakan masa yang rawan, karena berbagai pihak yang berkepentingan akan berusaha menanamkan pengaruh kepada masyarakat pemilih. Putaran kampanye sudah dimulai, banyak parpol maupun caleg dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah) menyampaikan janji﷓janji. Hampir semua yang dijanjikan balk, indah, menarik, karena itu untuk kepentingan rakyat.

Namun benarkah itu? Kita sebagai pemilih harus jeli, jangan sampai kita tertipu untuk kesekian kali. Pengalaman adalah guru yang paling bijaksana.

Kita lihat para pejabat publik maupun petinggi Parpol sering terlibat konflik kepentingan. Lihat kasus slogan "SOLO ROYO﷓ROYO". Karena hanya waktu yang tidak tepatlah maka muncul masalah, namun apabila kebijakan tersebut digulirkan sesudah Pemilu atau menjelang kampanye pasti tidak akan terjadi masalah. Oleh karena itu apa yang diharapkan beberapa tokoh kota Solo untuk bersama-sama menjaga suasana yang kondusif memang harus dimulai oleh "mereka" yang menjadi Pejabat Pemerintah maupun Petinggi Partai Politik.
Harapan pemilu damai, bersahabat dan beradab memang harus diwujudkan. Lalu dimulai dari siapa ?

Orang lndonesia biasanya akan mengikuti keteladanan para pemimpinnya. Maka apabila pemimpin memberikan contoh yang terpuji niscaya mereka yang berada di bawahnya akan mengikuti apa yang dilakukan atasannya. Semboyan Ing Ngarso Sung Tulodho memang sarat makna.

Harapan masyarakat Solo dan Indonesia pada umumnya, agar nanti para penentu kebijakan yang baru (calon anggota badan legislatif) dapat dijadikan teladan demi terciptanya. suasana. yang aman, rukun dan damai. Serta yang lebih penting, kedepankan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi/kelompok/partai.seperti motto yang "mereka" tulis dan sampaikan dalam kampanyenya, bilk melalui media massa, pamflet maupun orasi politik. Semoga.


FX Triyas Hadi Prihantaro
Pengajar SMA PL. St. Yosef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

----------------------

(7) POLITISI ASLI LAWAN POLITISI PALSU
Dimuat di kolom Bebas Bicara, Harian Bernas (Yogyakarta), 17/3/2004


MASYARAKAT Indonesia memang plural, termasuk juga permasalahan yang te~adi. Salah satu isu yang menarik saat ini tentang kepalsuan yang sudah menyangkut berbagai bidang. Sering terjadi pro dan kontra demi pembenaran masing﷓masing.

Bila dilhat dari segi kualitas tentu banyak memilih yang asli, tapi dari kemudahan dan harga sesuai kebutuhan tentu ' akan pilih yang paIsu. Kedua mempunyai dampak yang cukup signifikan.

Fenomena "politisi busuk/bermasalah" karena berijazah palsu, sakit ingatan, umur yang dikatrol, beraroma KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) menunjukkan "mereka" berkemampuan pribadi maupun akademiknya rendah, namun memiliki mateii/finansial/pengaruh yang berlimpah, sehingga bisa melakukan apa saja yang dimau demi untuk satu tujuan pribadi, meski nanti cepat berubah karakter/wajah aslinya.

Pemalsuan yang sudah menggeneralisir di negara ini memang sudah menjadi penyakit akut, tidak hanya barang, merek dagang, produk makanan, cipta lagu/film sampai calon pemimpin (caleg/bupati) dengan gagah beraninya maju mencalonkan diri, meski hanya berbekal ijasah palsu.

Belum lama ini banyak pencipta lagu, musisi, produser, sutradara atau siapaun pekerja seni berlomba﷓lomba mengkampanyekan anti pembajakan baik kaset, CD maupun VCD.

Aparat memang cukup tanggap dengan mengadakan razia, meski hanya sementara. Buktinya, sekarang marak lagi beredarnya barang﷓barang palsu tersebut. Karena terus terang harganya murah, mudah di dapat dan hasilnya juga tidak mengecewakan.

Contoh aksi pembajakan/pemalsuan kaset dan ijasah palsu bagi para calon anggota legislatif sudah merupakan isu nasional, namun penanganannya ternyata sulit. Mengapa? Karena sudah banyak pihak telah terjebak dalam permainan palsu﷓memalsu yang sangat menguntungkan kedua belah pihak. Tidak hanya masyarakat namun termasuk para penentu kebijakan lintas departemen. Ada pembeli tentu ada penjual.

Sekarang kita kembalikan pada diri kita masing﷓masing untuk menyikapi. Apalagi dalam pemilu yang sudah semakin dekat ini, mau pilih politisi asli atau politisi palsu. Gambar partai politik beserta foto caleg sudah banyak terpampang di setiap sudut kota, demikian juga calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) beserta dengan janji﷓janjinya. Lalu kalau tidak mengenal bagaimana?

Biasanya yang asli tidak banyak mengumbar janji, ibaratnya seperti "padi". Sebaliknya mereka yang selalu menjanjikan bisa dipastikan bagai tong kosong nyaring bunyinya. Maukah kita diberi janji﷓janji yang muluk (cepat keluar dari krisis, pendidikan gratis, dibukanya banyak lapangan pekerjaan gaji, naik, BBM turun, pengobatan gratis ... dsb), karena realita bangsa kita memang baru terpuruk. Narnun tidak semudah membalik telapak tangan untuk cepat memperbaiki.

Jangan mudah kita terbawa janji politisi palsu. Kita wajib mengkritisi bersama dan jangan lengah. Sesuatu yang palsu memang mudah dicari dan didapat karena banyak di pasaran, namun yang asli bagaikan mencari jarum dalam pasir. Bagaimanapun juga Pemilu tinggal hitungan hari.

Genderang pertandingan politisi asli melawan palsu sudah dimulai. Marilah kita support yang asli jangan sampai bangsa kita tetap terjebak dalam angan﷓angan palsu.


FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA PL St Yosef, Jl. Adisucipto Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

----------------------

(6) PARKIR ANTARA HARAPAN DAN REALITA
Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Bengawan Pos (Solo), 17/3/2004


Sebagai warga yang baik tentu akan patuh dan taat pada peraturan yang telah menjadi suatu keputusan. Namun keputusan dan hasil musyawarah yang cukup panjang dan melelahkan serta biaya yang tidak sedikit jangan hanya sebatas eforia di muka.

Yang penting adalah pengawasan dan kekonsistenan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Demikian juga dengan perparkiran di Kota Solo yang antara tempat/kepentingan sering tidak sama. Apakah memang begitu kebijakannya ? Atau tergantung situasi dan kondisi ? Atau juga hak masing﷓masing pengelola ?

Keefektivan kebijakan antara harapan dan realita idealnya sejalan. Harapan sebagai warga bahwa nantinya dalarn pelaksanaannya betul﷓betul sejalan di tempat mana pun, situasi dan kondisi apapun, dan yang paling penting bahwa. Keamanan dari kenadaraan yang dititipkan terjaga sesuai kondisi aslinya. Karena sering dijumpai dalam karcis sebuah pemyataan bahwa segala. kerusakan dan kehilangan menjadi tanggungan sendir. Ini kan menjadi ironis dari bentuk tanggungjawabnya.

Memang perlu penataran khusus serta kartu anggota yang jelas bagi para juru parkir. Dan hal yang mustahil bila parkir hanya ditangani oleh satu orang seperti yang sering kita lihat di beberapa pertokoan. Kalau di ma/tempat pembelanjaan umum yang besar umumnya sudah terbentuk tim parkir yang baik, ketika masuk nomor kendaraan dicatat termasuk jumlah helm yang dibawa.

Jadi resiko kehilangannya cukup kecil. Namun menjadi dilema ketika di depan sebuah toko kecil, warung makan "HIK", fotocopy maupun wartel kecil di situ berdiri seorang juru parkir. Dan ketika terjadi kehilangan mereka tidak ada yang mau bertanggung jawab. Ada suatu contoh kecil ketika mau fotocopy yang hanya dua lembar di situ ada petugas parkir maka sering terjadi ketidakseimbangan antara keperluan dan ongkos untuk parkir.

Semoga rencana hasil dari rancangan perparkiran di Kota Solo melalui Perda yang baru dapat memuaskan semua pihak sehingga antara harapan dan realitas memang semestinya.

FX Triyas Hadi Prihantoro
Pengajar SMA PL. SL Yosef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

------------------------

(5) MAKNA KEJUJURAN UNTUK PEMIMPIN
Dimuat di kolom Bebas Bicara Harian Bernas(Yogyakarta), 9/3/2004


KETIKA data ditemukan, ketika fakta berbicara dan ketika angka membuktikan, ternyata masih juga terus maju tanpa perasaan. Itulah kira﷓kira gambaran yang terjadi dalam era perpolitikan di negeri ini.

Banyak kasus/aib terkuak ternyata masih berusaha mengalihkan pembicaraan/suasana, bahkan cenderung "ngotot” untuk mengadakan pembelaan. Itulah fenomena yang terjadi di negeri ini dengan melibatkan semua elemen masyarakat tanpa kecuali.

Kejujuran ! Itulah sesuatu kata kunci yang syarat makna. Pengemis, pemulung, pengamen, pekerja seks, siswa, guru, dokter, hakim polisi, PNS, pejabat sipil/militer, artis, caleg sampai pemimpin negara serta siapa saja orangnya bila data, fakta, angka dan ditemukan penyimpangan, serta sudah diletakkan di depan mata ternyata masih juga berusaha untuk mengingkarinya.

Baru saja kita menyaksikan sandiwara politik yang sangat menakjubkan, tentang proses kasasi dari Akbar Tandjung yang akhirnya dikabulkan oleh MA (Mahkamah Agung), sehingga harus mengorbankan banyak anak bangsa, yaitu para mahasiswa yang menentang keputusan itu.

Sering juga kita mendengar adanya dokter palsu, dosen palsu, wartawan palsu dan lain lain. Dan yang paling sering bahan berita di media massa tentang caleg yang berijasah palsu, dan tentu masih banyak berita lain dimana pembaca diminta untuk mencari kesimpulan suatu makna "kejujuran”.

Masihkah bangsa kita akan sulit mencari figur yang jujur ? Kalau jawabannya ya, maka siapapun permimpinnya, keturunannya, profesinya, pendidikannya, dan apa saja syaratnya maka tidak mudah membawa segera terbebas dari krisis multidimensional.

Para tetua pernah bercerita ketika jamannya mereka muda bahwa masyarakat Bali terkenal akan kejujurannya sehingga apapun yang terjadi (pencurian, perampokan, pembunuhan, penculikan dll.) maka mereka yakin yang berbuat bukan orang Bali. Maka waktu itu suasana aman, nyaman dan damai di Bali begitu terasa. Karena orang Bali terkenal jujur.

Dalam sebuah tayangan TV swasta belum lama ini menampilkan profil negara kerajaan Monaco yang kecil namun kaya karena banyak wisatawan asing khususnya kalangan jetset internasional yang datang kesana untuk berlibur. Tentunya dengan membawa uang yang banyak. Mengapa begitu laris negara itu? Karena rakyat dan pejabatnya terkenal kejujurannya.

Lalu bagaimana dengan Indonesia saat ini ? Di mana fenomena palsu dan ketidakjujuran sudah menjadi salah satu penyakit dari orang yang hendak menginginkan suatu tujuan, baik jabatan maupun kekuasaan.

Bila semua pihak secara sadar baik sikap maupun tindakannya dengan dilandasi kejujuran maka negara adil makmur mustahil tidak tercapai. Marilah kita bersama﷓sama berdoa kepada Tuhan agar makna kejujuran dapat menjadikan landasan semua orang, sebelum mereka menjadi permmpin bangsa ini.



FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA PL St Yosef, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

------------------------------

(4) SUKSESKAN PEMILU DENGAN BUDAYA SANTUN
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 8/3/2004



Ketika menyimak opini salah satu media elektronik di Solo yang juga ditulis di harian ini, antara lain ulasannya sebagai hasil pertemuan Parpol dengan media massa "bisakah Parpol membeli halaman koran untuk kampanye politik ?" Ini cukup menarik karena ada upaya segala cara untuk mencapai suatu tujuan demi kepentingan pribadi/kelompok/ golongan.

Kalau Parpol peserta Pemilu berlomba﷓lomba mempengaruhi media massa dengan janji atau iming﷓iming tertentu, lalu bagaimana janji yang diberikan kepada rakyat pemilih? Rakyat banyak berharap bahwa penyelenggaraan Pemilu 2004 nanti berjalan dengan damai tanpa adanya kekerasan.

Tahapan untuk terciptanya suatu kondisi yang kondusif dan demokratif sudah diawali dengan UU Pemilu yang baru (UU No 12/2003) yang cukup maju dan akomodatif. KPU yang mandiri, kemudian Panwaslu yang cukup bersemangat dalam bekerja (meski kadang bagai macan ompong) ?

Banyak harapan terhadap suksesnya Pemilu 2004 mendatang demi segera terbebasnya bangsa. dari belenggu krisis multidimensi ini.

Marilah kita bersama﷓sama saling membantu. Media massa. tetaplah sebagai institusi independen, tingkatkan keprofesionalan dengan laporan investigasi yang akurat, tolak amplop, jaga image sportif.

KPU, Panwaslu dan ISM bekerjalah sejalan dengan kebenaran, kejujuran dan hati nurani. Parpol peserta Pemilu, para calon anggota legislatif, tunjukkan sikap ksatria dengan dedikasi moral yang tinggi. jangan asal mengumbar janji. Dan kepada masyarakat, marilali kita bersama﷓sama mendukung dan mensukseskan Pemilu dengan budaya santun.


FX Triyas Hadi Prihantoro
Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

--------------------------

(3) JURUS AJI MUMPUNG
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 1/3/2004


Dalam dunia persilatan dikenal banyak jurus untuk menaklukkan lawan﷓lawannya. Jurus dewa mabuk, angin beliung, telapak matahari, kunyuk melempar buah, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin saya sebutkan satu﷓persatu.

Dunia perpolitikan Indonesia pun akhir﷓akhir ini dihebohkan berita tentang program yang dibahas dan anggota DPRD di akhir masa tugasnya. Program itu antara lain berkaitan dengan besarnya dana purnabakti dan yang lebih fantastis lagi di akhir jabatannya masih memikirkan kunjungan studi banding yang dibungkus istilah Kunker (kunjungan kerja).

Kalau pembahasan masalah untuk kepentingan pribadi mereka sangat antusias mengadakan rapatprapat bahkan segera mengambil keputusan, tapi ketika disuruh memikirkan banyak gedung sekolah yang rusak, jalan﷓jalan yang berlubang, parkir yang terlalu mahal, untuk kepentingan masyarakat banyak dan lain﷓lain, buru﷓buru mereka mengatakan bahwa itu tanggung jawab anggota Dewan mendatang.

Memang jurus aji mumpung dalam hal ini paling pas diberikan kepada mereka karena berpikir sempit, hanya demi kepentingan pribadi. Mumpung masih menjadi anggota Dewan, mumpung masih punya power, mumpung masih punya suara, mumpung masih..., dan bagaimana caranya agar mendapatkan keuntungan melalui suatu kebijakan bersama yang legitimated, tanpa melihat persoalan lain yang lebih penting.

Dan, memang ironis anggota Dewan kita umumnya, bagaimana tanggungjawab mereka terhadap para pemilih?

Seperti baru﷓baru ini di DPRD Jateng, untuk rapat paripurna yang telah diagendakan sendiri saja mereka mbolos, tidak hadir dan alasan mereka mempersiapkan Pemilu. Banyak yang mengatakan mereka tidak mau rapat disebabkan kemungkinan terpilih untuk Pemilu mendatang sangat, kecil karena berada di nomor sepatu.

Melihat hal tersebut apa dapat menjadi teladan ?

Semoga anggota Dewan kita mendatang tidak lagi, menggunakan jurus aji mumpung dalam setiap' kebijakannya.


FX Tryas Hadi Prihantoro
Manahan, Banjarsari Solo
Pengajar SMA PL St. Josef Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

-----------------------------

(2) BUKAN GELAR TAPI KINERJA
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 15/2/2004


Menyimak Pos Pembaca yang ditulis Muhammad Asngari (SOLOPOS, 6/2), saya sangat setuju apabila ada pihak﷓pihak yang merasa mendapat gelar dari instansi/lembaga asing segera mengumumkan kepada publik. Tapi maukah mereka melakukan? Karena budaya malu dan mundur di Indonesia belum membudaya,

Umumnya mereka memperoleh gelar itu akan bangga dengan embel﷓embel di belakang namanya, padahal memperolehnya hanya beli tanpa adanya usaha.

Dalam fenomena di masyarakat kita sering menetnui kasus "gelar tipu-tipu" agar dapat isteri dan dipercaya calon mertua mengaku anggota TNI/Polri, agar dapat naik pangkat mengaku sudah master dan lain﷓lain.

Memang ironis sekali karena belum genap satu tahun kuliah talhu﷓tahu sudah diwisuda. Kita jadi tahu karena menclapat unclangan syukuran.

Justru sering kebalikan dengan mereka yang memperoleh gelar akademi dengan penuh perjuangan untuk lulus, sering enggan mencantumkan gelar akademiknya. Sering mereka berujar "gelar tidak terIalu penting, kinerjalah yang perlu dibuktikan. Kiita pun tahu banyak orang yang mumpuni dalam bidangnya tanpa mempunyai gelar.

Akhirnya saya berpikir bahwa salah satu pepatah "air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan" memang benar. Kelihatan "mentereng" dengan gelar yang banyak tapi ternyata palsu dan kinerja tak terbukti. Dan ironisnya hal ini ditemukan pada calon anggota badan legislatif kita yang notabene akan menentukan masa depan bangsa lima tahun mendatang.

Maukah kita dipermainkan sandiwara kelas tinggi ini? Marilah kita warga bersama-sama mengkritisi hal ini, dengan memberi masukan kepada lembaga yang berwenang (KPU, Panwaslu, LSM, PoIri) apabila menemukan kejanggalan-kejanggalan dari para calon wakil kita di badan legislatif baik tingkat I, II maupun pusat.

Jangan kita terbohongi untuk yang kali kesekian. Semoga.


FX Tryas Hadi Prihantoro
Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004

--------------------------------

(1) BUDAYA KAMBING HITAM
Dimuat di kolom Pos Pembaca Harian Solopos (Solo), 6/2/2004


Kontroversi kambing hitam dalain negeri ini sudah begitu 'ngeri" Dari yang skupnya kecil, sampai yang besar (negara). Lihat saja di Kota Solo. Masalah rel bengkong di Purwosari, banyak pendapat yang minta rel itu ditutup karena telah banyak meminta korban. Padahal tidak hanya rel bengkong saja, tapi rel KA yang melintas untuk menghubungkan transportasi dari Solo ke Jakarta, juga di Purwosari sering meminta korban.

Sebelum rel bengkong, sudah ada rambu﷓rambu cara melewati, juga sudah ada garis kejut agar para pengguna jalan berhati-hati. Lagi﷓lagi kalau ada korban jatuh, yang menjadi kambing hitam adalah rel yang melintas (benda mati kok disalahkan !).

Begitu juga menielang Pemilu 2004 H, banyak pihak yang mencari kambing hitam guna dapat melanggengkan kekuasaannya. Kontroversi perebutan untuk menjadi Caleg nomor kecil (jadi), Caleg yang berijazah palsu, Caleg gila dan sebagainya. Semuanya ujung﷓ujungnya untuk kepentingan pribadi, karena selagi masih ada yang dikambinghitamkan maka serasa ada pembenaran.

Masihkah nurani kita terpakai untuk membenahi negara ini supaya lekas lepas dani kondisi yang masili compang﷓camping ? Maka bila salah satu budaya yang sering dilakukan oleh mereka yang punya kebijakan niscaya negeri ini segera terbebas. Budaya kambing hitam harus ditinggalkan, budaya ksatria mari kita tumbuhkan ? Semoga.


Tryas Hadi Prihantoro
Nusukan, Banjarsari, Solo


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 12/5/2004


--------------------------