Wednesday, December 19, 2007

Hari Raya dalam Kebersamaan

dimuat dalam Surat Pembaca Kompas Jateng 19 Desember 2007

Tahun ini dalam waktu tenggang 10 hari, bersamaan 3 hari besar yaitu Idul Adha , Natal dan Tahun Baru tidak hanya sebuah peringatan, tapi juga perayaan bagi umat manusia yang mengimaninya.
Sebuah kebersamaan dalam realitas menuju keharmonisan dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sebuah cita-cita negara Integralistik dalam semangat persatuan dan kesatuan menuju negara yang Berbhineka Tunggal Ika merupakan tujuan kita.
Semangat kebersamaan dalam kehidupan negara yang multikulturalistik inilah yang harus kita semai

FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Sunday, December 16, 2007

Dari Gaptek Menuju Melek Iptek

dimuat dalam kolom DIDAKTIKA hal 14 harian KOMPAS 26 Nopember 2007

Dari Gaptek menuju melek Iptek
oleh FX Triyas Hadi Prihantoro

Guru profesional adalah guru yang mau mengembangkan dirinya dan mau berubah ke arah yang lebih baik. Meski dalam UU Guru dan Dosen dikatakan guru harus mempunyai kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, di era Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi harus mau merubah pola pikir..
Bagaimana merubah pola pikir guru yang sudah kadung (terlanjur) gaptek (gagap tekhnologi) alias katro ini? Mungkinkah secara radikal dan ekstrim bisa melakukan manufer menjadi guru yang berkarakter Iptek?
Melakukan perubahan ini tidak gampang di era iptek seperti sekarang ini. seorang guru harus mempunyai peran ganda sebagai koordinator, fasilitator, pembimbing, pendamping dan mitra belajar bagi siswanya..
Tantangan tersulis tentu saja tingkat pendidikan guru. Berdasarkan data dari Dirjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) tahun 2005-2006., guru yang berijasah Sarjana masih di bawah angka ideal.
Guru Taman Kanak-Kanan (TK) yang berijasah Sarjana misalnya baru 10,69 persen dan Sekolah Luar Biasa (SLB) 44,46persen , SD 16,57 persen , Madrasay Ibtidaiyah 15,29 persen , guru SMP 61,31 persen, Madrasah Tsanawiyah 53,02 persen SMA 83,43 persen dan Madrasah Aliyah 70,79 persen
Tingkat Pendidikan
Bagaimanapun tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam kualitas seorang guru. Itulah sebabnya untuk laolos dalam sertfikasi guru minimal seorang guru sudah sudah memiliki Ijasah Diploma 4 (D4) atau S1. Sebab dengan bekal kesrjanaan dianggap mampu menyesuaikan diri di era Tekhnoligi Informasi dan Komunikasi (.TIK)
Tonggak TIK yang paling fenomenal antara lain adalah dengan hadirnya Internet termasuk ke sekolah-sekolah. Kehadiran Internet telah menggeser menggeser dan merubah pola atau sistem hidup manusia. Dengan Internet sumber informasi menjadi lebih beragam dan luas, tidak semata-mata dari buku teks di sekolah. Jarak dan Waktu bukan lagi kendala yang utama.
Munculnya sistem pembelajaran On-line (E-Learning) dipastikan bakal menjadi proses pendidikan masa depan. Guru tidak lagi hanya berdiri di depan kelas juga menjadi teman diskusi bagi siswa saat belajar melalui internet.
"E-Learning"
Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh mengatakan, pengembangan sistem pembelajaran jarak jauh, terbuka atau berbasis internet (E-Learning) membutuhkan dukungan infrastruktur informatika yang memadai. Sejauh ini, infrastruktur tersebut masih sangat terbatas (Kompas 19/11/07)
Meski demikian memang dalam kemajuan tekhnologi dalam Internet masih ada sisi negatif yang perlu direduksi, semisal munculnya Carding, Hacker; Violence and Gore, Cracker, penipuan, perjudian bahkan Pornografi mudah diakses siapa saja. Karena itu di era E-Learning ini, peran guru masih sangat penting dalam mentransformasikan nilai-nilai etika, sosial dan budaya dalam tatanan kehidupan.
Perubahan nilai sosial yang muncul dari internet menuntut pergerakan dengan cepat menyiapkan infrastruktur dan faktor-faktor yang bersangkutan dengan bidang tersebut. Internet merupakan salah satu jembatan penting untuk masuk dalam kancah dunia. Begitu pula pendidikan Indonesia yang menduia akan terealisir bila di nahkodai oleh guru-guru yang tidak gaptek.
Karena itu bukan hal yang mengherankan bila Depdiknas mau menanamkan modal sebanyai 1 triliun guna membangun pusat sumber atau resources center di sekolah-sekolah untuk mempercepat TIK di tahun 2008 (Kompas 15/11/07).
"Lembaga pendidikan dapat menjadi tempat untuk pembelajaran TIK sehingga nantinya terwujud masyarakat melek digital”, seperti ungkapan Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Departemen Pendidikan Nasional Lilik Gani. (Kompas 19/11/07).
Guru abad 21
Menjadi guru abad 21 sungguh tidak mudah. Kemampuan dalam bidang tekhnologi, berkomunikasi menjadi suatu keharusan. Ditambah dengan kemampuan berkolaborasi dengan siapa saja yang peduli pendidikan.
Disi lain seorang guru dalam pembelajaran harus mulai mengedepankan problem solving sebab bermasalahan siswa semakin kompleks. Selain itu sisiwa semakin kritis dan kreatif bahkan wawasannya semkin luas dengan terbukanya akses Internet.
Perubahan di era TIK seprti sekarang ini sangat sulit diprediksi sebab skala waktu yang relatif cepat, tepat, singkat dan mudah berubah. Karena itu untuk menghadapi di era digital seperti ini perlu guru - guru yang mumpuni. Antisipasi segala bentuk perubahan diawali dengan menyiapkan guru yang berkualitas.
Tak cukup silabus
Menyadari beratnya tantangan Guru di abad 21 program peningkatan mutu guru tidak lagi cukup hanya sebatas bagaimana membuat silabus atau kerangka pembelajaran dan evaluasi melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Gurupun tidak lagi hanya sibuk mencari sertifikat guna memenuhi syarat sertifikasi
Disisi lain Dirjend PMPTK harus gencar melakukan sosialisasi dan pelatihan yang berkaitan dengan pembelajaran E-Learning yang berbasis Internet. Saat ini sudah banyak sekolah mendapat bantuan perangkat multimedia (Lab Multimedia), namun tanpa menyiapkan guru-gurunya ber IT menjadi hal yang mubasir.
Seorang gurupun harus mulai terbiasa menggunakan komputer jinjing (laptop).Dalam pelatihan/penataran/lokakarya mestinya bukan hal yang aneh jika guru membawa Laptop. Maklum guru harus berubah dari gaptek menuju melek Iptek.
Momentum peringatan hari Guru 25 Nopember 2007 mudah-mudahan awal dari guru untuk berubah

FX Triyas Hadi Prihantoro
Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Sunday, December 09, 2007

Vine, Vidi, Vici kontingen Indonesia

Dimuat di Surat Pembaca Kompas Jateng 6 Desember 2007

Hajat pesta olah raga bangsa serumpun Asia Tenggara (Sea Games) sudah dimulai. Segala persiapan, doa dan restu dari rakyat Indonesia meyertai kepergian kontingen Indonesia.
Harapannya nama baik, keharuman bangsa akan terukir dalam berbagai prestasi yang akan diorehkan. Optimisme dan semangat juang wakil kita tidak diragukan.
Bukanlah nasib yang yang menjadikan kita belum berhasil menorehkan lagi "tinta emas" kejayaan Indonesia. Persiapan, Evaluasi dan Intropeksi dirilah yang menjadi wacana untuk memperbaiki demi "keagungan bangsa".
Ada apa dengan bangsa ini, sebab segala pretasi olah raga seolah-oleh menjauh.Meski demikian kita perlu memberi suport dan apresiasi yang tinggi kepada mereka (atllet) yang sedang berjuang.
Dalam ingatan saya era tahun 1970-1980 an Indonesia selalu menapaki nomer puncak setiap perolehan medali. Sampai surat iini saya tulis,posisi Indonesia masih menjadi juru kunci.
Bagaimana dengan semboyan vine, vidi, vici (Datang, melihat dan menang) Kita ingin merekadatang, melihat dan menang untuk Indonesiaku.

FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA Pangudiluhur Santo Yosef Surakarta





Sampah di Monumen 45 Banjarsari

dimuat Di Pos Pembaca SOLOPOS 23 Nopember 2007

Mencintai lingkungan sendiri kadang sulit dilaksanakan. Mungkin tangan serasa gata bila tidak melakukan semestinya. Demikian halnya nasib monumen kebanggan wong Solo, Monumen 45 Banjarsari.
Apa yang dialami penulis saat bersama dengan pengurus OSIS melakukan aksi pembelajaran Cinta Tanah Air membersihkan Monumes 45 Banjarsari dari segala sampah.
Kegiatan yang dilakukan hari Kamis tanggal 8 Nopember 2007 merupakan bentuk pembelajaran cinta tanah air dan memupuk semangat nasionalisme menjaleng hari Pahlawan 10 Nopember 2007.
Monumen yang membanggakan penuh dengan berbagai coretan dan cat (pilox) yang realitasnya sulit dihapus. Baik itu dengan tinner, bensin maupun diampelas. Belum lagi sekitar monumen banyak seklai sampah berceceran.
Ironisnya, tempat sampah disekitar monumen pun tidak ada. Ini menjadi keraguan penulis bahwa kita memang sulit untuk membuang sampah sembarangan. Sebab tempatnyapun tidak ada.
Hemat penulis, sebuah pengawasan dan kesadaran warga sangat dibutuhkan demi keasrian wilayah ini yang mulai tertata baik. Begitu juga Pemkot melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) segera memikirkan tempat sampah yang represntatif.
Sebab apa yang sudah direncanakan tanpa dukungan semua pihak akan mubazir. Sebab dari sini akan membentuk karakter warga yang tertib dan disiplin termasuk tidak corat-coret membuang sampah sembarangan

FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta




Hilangnya Kepercayan

dimuat di Surat Pembaca Kompas Jateng 20 Nopember 2007

"Tobat! Ampun! Tak akan mengulang!" Itulah kata yang sering kita dengar dari pelaku kejahatan saat tertangkap basah. Bisakah pertobatan itu dipercaya?
Melihat mimik, raut muka, tangisan, keseriusan berubah menjadikan pemberian maaf sebagai salah satu jalan keluar. Namun bila pengulangan perbuatan yang sama, rasanya jadi jengkel.
Seperti halnya tertangkapnya aktor Roy Marten saat pesta Narkoba di salah satu hotel di Surabaya baru-baru ini. Ironisnya saat dia sedang nerkampanye antinarkoba yang diselenggarakan oleh Badan Narkotika Nasional.
Sebagai figur publik tenhtu pemberitaan terus menerus oleh pencari berita akan gencar menghiasai media massanya. Jadilah kita tak lagi mempercayai pertobatan mereka.
Dalam ingatan publik ada beberapa figur yang tersangkut Narkoba mulai dari Zarima, Doyok, Polo, Revaldo, Gogon, Faris RM dan Roy Marten sendiri.
Seharusnya dari mereka kepercayaan publik guna membantu pemberantasan narkoba terbentuk sebab sebuah pengakuan, keinsafan, pertobatan yang hakiki menjadi bentuk keteladanan bagi masyarakat untuk selalu jauh dari penyalahgunaan narkotika.
Hilangnya kepercayaan menjadikan sesungguhan usaha BNN, Kepolisian dan sekolah melalui pendidikan hanya fatamorgana.

FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta