Friday, December 21, 2012

Eliminasi Ranking

Suara Guru, SUARA MERDEKA (17/12/12) PROSES pendidikan semester gasal tahun ajaran 2012-2013 telah usai, yang ditandai dengan pelaksanaan tes akhir semester (TAS). Secara serentak, hampir seluruh institusi pendidikan (sekolah) dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas membagikan hasil belajar siswa (rapor). Selalu menjadi pertanyaan orang tua siswa mengenai ranking (peringkat) putra-putrinya sampai tingkat paralel. Sebab, ranking masih menjadi pemujaan (hedonisme) dari orang tua/wali siswa guna memberikan sanksi maupun penghargaan. Bahkan, sering menjadi bahan kebanggaan, karena prestasi anaknya. Sejalan dengan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), di dalam format rapor hampir tidak tertulis kata ranking. Biasanya ranking siswa tercantum dalam leger yang dimiliki wali kelas sebagai bahan pertimbangan dalam rapat pleno kenaikan kelas. Mengapa ranking selalu dipertanyakan oleh orang tua/wali siswa? Sebab, hal itu merupakan kebanggaan warisan masa laluyang menunjukan identitas dan kualitas peserta didik. Tiadanya pemeringkatan dalam rapor berdasarkan KTSP, nilai siswa secara angka relatif lebih tinggi. Pasalnya, dalam KTSP, guru mata pelajaran harus menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang selalu dituntut naik tiap tahun. Menjadi ironis saat nilai setiap bidang studi di atas KKM. Padahal, KKM yang ditetapkan biasanya cukup tinggi (di atas 7,00). Maka, nilai siswa dalam rapor dalam kenaikan kelas, yang telah berhasil (naik kelas) rata-ratanya menjadi tinggi, sangat berbeda dengan penerapan kurikulum sebelumnya (1976/1984). Sebab, hasil nilai jadi (dalam rapor) sudah melalui proses. Karena itu, angka nilai dalam rapor sering tidak murni berdasarkan perolehan angka kualitas dalam tes akhir semester. Semakin ironis saat ranking tertulis dalam rapor. Sering terjadi siswa pandai justru rankingnya lebih rendah daripada siswa yang nilai perolehan akhir didapat dari hasil remidiasi. Karena itu, eliminasi hedonisme ranking dengan sosialisasi intensif, apalagi dengan hendak berlakunya kurikulum 2013. (37) - FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta