Sunday, February 03, 2013

Pat Gulipat bekas RSBI

Gagasan SOLOPOS (15 Januari 2013) oleh: FX Triyas Hadi Prihantoro SOLOPOS edisi Senin (14/1/2012) secara gamblang memberitakan pengelola sekolah negeri berstatus bekas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Kota Solo tidak sepakat penghapusan pungutan dari orangtua siswa. Penolakan itu dengan berbagai argumentasi dan alasan yang sifatnya patgulipat sebagai pembenaran belaka, bukan alasan substansial. Mereka menyatakan tetap butuh sumbangan dari orangtua siswa dengan alasan operasional sekolah membutuhkan biaya tinggi berkenaan dengan berbagai fasilitas yang ada. Alasan ini sebenarnya tak masuk akal. Alasan ini hanya berdampak tetap berlakunya diskriminasi karena hanya orang kaya yang bisa menyekolahkan anak mereka di sekolah bekas RSBI itu. Pelarangan pungutan biaya dari orangtua siswa sekolah bekas RSBI merupakan langkah teknis mutlak mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan RSBI tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan MK menyatakan RSBI adalah wujud mengabaikan tanggung jawab negara untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua warga negara. Dalam pandangan MK, pemerintah telah memberikan perlakuan yang berbeda antara sekolah RSBI/SBI dan sekolah reguler, baik dari segi sarana dan prasarana, anggaran, kesempatan dan proses penerimaan siswa baru, maupun lulusan. Izin bagi sekolah berstatus RSBI/SBI memungut biaya dari orangtua siswa—yang mahal itu–menunjukkan sekolah berstatus RSBI hanya bisa dinikmati siswa anak orang kaya. MK menilai pemerintah menghalangi akses semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Eksistensi RSBI/SBI menimbulkan dualisme sistem pendidikan dan berdampak berkembangnya liberalisasi pendidikan dan menimbulkan diskriminasi pendidikan. Penggunaan bahasa asing sebagai pengantar juga berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar wajib di RSBI/SBI bertentangan dengan UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. Bila pemerintah ”merestui” sekolah bekas RSBI boleh menjalankan aktivitas sebagaimana ketika masih berstatus RSBI—terutama memungut biaya dari orangtua siswa—berarti pemerintah belum konsisten dengan kewajiban menyediakan pendidikan berkualitas yang dapat diakses semua warga negara. Ini juga membuktikan ketidaksetaraan perlakuan, padahal pemerintah selalu menutut kualitas/mutu sekolah sebaik-baiknya. Pemerintah jelas melakukan diskriminasi, membedakan perlakuan antara sekolah reguler dan sekolah bekas RSBI yang berarti melestarukan ketidaksetaraan sekolah negeri. Sekolah Top Ironisnya saat legalitas pemerataan dan penyetaraan pendidikan untuk semua itu ditetapkan oleh MK dengan penghapusan RSBI, upaya patgulipat gencar diwacanakan oleh Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud ). Wacana itu berupa alokasi anggaran untuk bekas RSBI yang akan dibelanjakan untuk membentuk sekolah unggulan serta sistem baru sekolah kategori mandiri (SKM). Sebagaimana diberitakan SOLOPOS, Mendikbud Muhammad Nuh dalam pertemuan dengan Ketua MK, Mahfud MD, menyitir bunyi Pasal 50 ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Mendikbud menyatakan keputusan MK tentang pembubaran RSBI memang sudah diputuskan, tetapi sebagai bagian dari diskursus intelektual, menurut Mendikbud, putusan itu harus diuji. Mendikbud berkata,”Masak punya sekolah top enggak boleh, gimana ta? ”. Ungkapan Mendikbud ini layak diwaspadai sebagai patgulipat melestarikan sistem RSBI di sekolah-sekolah bekas RSBI. Upaya patgulipat itu 1.001 jalannya. Ini yang harus kita waspadai bersama. Perbandingan kompetensi dan kualitas sekolah berstatus RSBI dengan sekolah reguler sudah terbukti. Di Kota Solo, sekolah berstatus RSBI yang diharapkan dan diharuskan mampu meluluskan siswa sesuai tuntutan yang tinggi (sebelum UN 2011) ternyata tidak demikian. Begitu pula dalam dua tahun terakhir (2011, 2012). Nilai rata-rata tertinggi UN SMA justru dipegang oleh sekolah regular. Rentang standar deviasi (simpangan baku) nilai UN dan nilai sekolah yang ideal juga dipegang oleh sekolah reguler. Beberapa tahun terakhir ini ada anggapan bahwa sekolah regular dianggap nomor dua. Ini terlihat dalam penerimaan siswa baru (PSB) di sekolah berstatus RSBI yang diberi kesempatan untuk ”menjaring” siswa berkualitas secara intelektual maupun material lebih dahulu. Padahal, label RSBI/SBI belum tentu membuktikan kemampuan sekolah secara akademis untuk menjadi yang terbaik di wilayah kabupaten/kota. Yang menonjol dari sekolah berstatus RSBI hanya kemewahan dan kemegahan material yang kemudian memunculkan jurang pemisah dengan sekolah reguler—tapi bukan jurang pemisah kualitas pengajaran dan mutu lulusan. Sekolah berstatus RSBI berbiaya operasional tinggi karena setiap ruang ber-AC, guru yang dikabarkan berkualitas tinggi dengan sederet gelar akademis serta kegiatan pendidikan di dalam kelas atau luar kelas yang menuntut biaya tinggi. Pemujaan Semu Inilah yang kemudian dijadikan alasan sebagian pengelola sekolah bekas RSBI di Kota Solo—dan mungkin juga di daerah lain—untuk tetap menjalankan kegiatan sebagaimana ketiak masih berstatus RSBI, termasuk tetap memungut biaya—mahal—dari orangtua siswa. Sesungguhnya itu semua merupakan pemujaan ”semu” dengan mengesampingkan hakikat pendidikan untuk semua orang tanpa diskriminasi. Itu semua adalah buah hedonisme di dunia pendidikan. Ide, pemikiran, pendapat dan keinginan untuk tetap mempertahankan sistem yang dijalankan ketika masih berstatus RSBI di sekolahj bekas RSBI adalah kesombongan pengelola dan kalangan masyarakat tertentu—pendukung RSBI–tanpa diimbangi dengan kualitas yang ideal. Keangkuhan sekolah berstatus RSBI/SBI secara umum sangat dirasakan oleh masyarakat miskin. Banyak calon siswa dari kalangan keluarga miskin yang secara intelektual berkemampuan tinggi tapi tak bisa mengakses pendidikan “wah” di RSBI—dan mungkin juga di bekas RSBI yang tak mau menghentikan kegiatan berciri-ciri RSBI. Mereka akan tetap tersingkir dari sekolah bermutu yang membatasi diri sebagai sekolah elitis karena hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya. Sikap ngotot bahkan patgulipat utnuk melanggengkan penyelenggaraan sekolah yang melanggar UU terutama melanggar kewajiban menjamin terselenggaranya pendidikan yang setara dan seimbang adalah pengkhianatan terhadap gembar-gembor tentang pendidikan gratis dan murah. Upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas, setara dan terbuka untuk semua akan tampak nyata saat semua sekolah memiliki hak dan kewajiban yang sama dan pemerintah mematuhi amanat UUD 1945 untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan setara bagi semua warga bangsa. Dan ini hanya bisa dicapai dengan mengilangkan sikap, pendapat, kebijakan dan tindakan patgulipat demi mempertahankan hegemoni label internasional di sekolah bekas RSBI.

No comments: