Thursday, December 19, 2013

Guru Agen Harmonisasi

Opini, Harian Joglosemar 20 Desember 2013 oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta) Saat ini, maraka tawuran pelajar, demoralisasi, pelanggaran etika, dan bullying ( kekerasan) di sekolah. Kesalahan dialamatkan pada lemahnya sistem manajemen sekolah. Di mana proses pembelajaran dan pendidikan yang dilakukan oleh tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan di sekolah masih lemah. Dengan demikian ada kekeliruan yang dilakukan guru dalam melakukan pendampingan dan pendidikan kepada siswa. Disamping itu, kesalahan orangtua akibat kesibukan memenuhi tuntutan material. Menjadikan perhatian, pendampingan dan pengawasan berkurang. Namun demikian kebijakan birokrasi pendidikan dan lemahnya sistem pengawasan aparat turut ambil bagian timbulnya “korban” pelajar. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah cara guna mereduksi berbagai peristiwa yang mencoreng pendidikan. Bukan hanya tindakan preventif dan kuratif, semangat harmonisasi menjadi kunci menjadi bangsa beradab. Dunia pendidikan sebagai alat penyemaian mental dan karakter bangsa yang bijaksana untuk saling menghargai, menghormati segala perbedaan yang ada. Pasalnya, baik buruknya bangsa berhulu pada bagaimana proses pendidikan itu berlangsung. Sebab pembentukan karakter bangsa menjadi beradab dan manusiawi. Oleh karenanya, peran guru menjadi penting dalam membentuk, mengolah dan meraciknya agar aksi penyimpangan tidak semakin massif. Tugas guru mengajari siswa tentang hak dan kewajiban warga negara bukan soal dosa dan pahala. (Rocky Gerung, 2011) Seperti disalin Irine H Gayatri (2003), dalam The Development of Conflict Knowledge, Paul Wehr menyebutkan bahwa pada periode sepanjang abad 19 dan 20, kesadaran manusia tentang bagaimana suatu konflik muncul. Di samping upaya-upaya untuk menanganinya dengan cara-cara yang konstruktif, semakin bertambah melalui, pada level abstrak dan dan formal, pendidikan di sekolah, forum seminar dan pelatihan. Bukan sekadar “merefleksikan keingintahuan manusia terhadap persoalan konflik” dan bagaimanamewujudkan perdamaian, tetapi lebih jauh, hal ini menggambarkan proses pencarian suatu solusi terhadap semakin bertambahnya skala dan biaya dari konflik antarmanusia. Upaya untuk menangani persoalan konflik sebenarnya justru tergantung dari pihak-pihak yang berkonflik, korban dari peristiwa konflik itu sendiri. Perbedaan Menjadi kewajiban guru untuk menjadi agen harmonisasi. Sebab melalui pendidikan merupakan kunci strategis dalam mengarahkan, memberi arti dan membimbing dalam aktualisasi perdamaian itu sendiri. Guru perlu aktif mempromosikan nilai-nilai budi pekerti, etika, moral, nasionalisme, patriotism, kewarganegaraan (civic), perdamaian, kerukunan dan keberagaman. Guru mengemban misi menyiapkan generasi penerus bangsa mengambil sikap (attitude) mawas diri dan bertanggung jawab, Selain harus membekali siswanya pula dengan ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan hidup dan kecakapan hidup (life skill). Internasilisasi nilai guru menjadi agen perdamaian perlu dibumikan. Seruan ini juga datang datang dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa- Bangsa (UNESCO), Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), Program Pembangunan PBB (UNDP), Organisasi Buruh Internasional, dan Education International. Sebab, guru berperan dalam membangun harapan bangsa yang ingin memiliki generasi cinta damai dan hidup harmonis dalam keragaman. Banyak anak-anak saat ini mengalami trauma akibat menyaksikan/ menonton kekerasan yang ekstrem (SARA) , melihat dan mengalami kehancuran rumah, tempat ibadah, kampung baik dirusak maupun dibakar dan tawuran pelajar. Gesekan sosial yang sering terjadi kalangan pelajar perlu diredam dan direduksi. Dalam pendidikan semakin memperkuat kebudayaan bangsa dan sikap menghormati, menghargai sesama makhluk. Perlu dikaji ulang berubahnya arah dari tujuan pendidikan dengan pemberian materi yang lebih berusat pada ilmu pengetahuan dengan mengesampingan nilai-nilai sosial, kekayaan budaya keberagaman itu sendiri. Driyarkara menunjuk tegas humanisasi ini sebagai proses berbudaya dari kondisi hidup bersama yang saling mengerkah dan berebut tega membunuh demi kuasa dan nasi dalam kondisi sesama manusia adalah serigala bagi yang lain (homo homini lupus), menuju ke kulturalisasi hidup bersama di mana manusia adalah sahabat atau rekan bagi sesamanya:homo homini socius. Lalu bagaimana upaya menghumanisasikan peradaban? Diperlukan agen kelembutan dan perdamaian hakiki. Semua dapat dilakukan dalam ranah pendidikan. Gurulah yang mampu menjadi spirit, motivasi dan penggerak dari segala kekarut- marutan kehidupan pelajar yang penuh dengan aksi kekerasan ini. Proses berbudaya ini mengenal dua arah pematangannya ketika dihayati bersama-sama oleh pelajar dalam keragaman fungsi dan posisi sosialnya. Yang pertama, ia menjadi proses peradaban ketika kulturalisasi mengembangkan nilai saling menghormati antarmanusia sebagai yang berharkat serta membentuk terus-menerus keadaban, yaitu kondisi hidup bersama yang menaruh manusia dengan martabatnya dan keunikannya sebagai yang berharga dan dihormati. Maka, proses peradaban terus-menerus melawan tiap anarki, penghancuran kemanusiaan dan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang membawa arus kebiadaban. (Muji Sutrisno, 2009) Oleh karena itu, guru perlu ikut aktif memulihkan kondisi sosial pelajar dengan mengimbau, menata, menyosialisasikan, mengampanyekan penghentian segala bentuk kekerasan dan konflik. Memformulasikan kedamaian dalan suasana hidup harmonis. Dari area sekolah, guru harus menerapkan sikap antidiskriminasi. Menghargai perbedaan, meningkatkan kerukunan, membumikan sikap saling menghargai dan memahami keberagaman. Rasa damai dalam harmoni lahir dari semangat penyatuan dalam keberagaman yang dilakukan oleh guru. Kompetensi nilai yang dikembangkan adalah harmoni diri (tanggung jawab, keyakinan pada ajaran agama, kepercayaan); harmoni sesama (penghargaan, kejujuran, kepedulian), harmoni alam (ramah lingkungan, melindungi, kewarganegaraan), harmoni sosial ( menghargai sesamanya), harmoni budaya (menjaga keberagaman). Menjadikan kebutuhan bersama bila dalam kehidupan terjalin harmonisasi. Dipastikan rasa saling curiga, iri hati dan dengki terabaikan dan yang ada adalah saling menghormati, menghargai dalam kerukunan. Dipastikan nilai-nilai perdamaian, kemanusiaan, hak asasi manusia, multikulturalisme, pluralisme dan perlindungan anak terintegrasi karena guru tidak pernah lepas, selalu menjadi agen perdamaian demi harmonisasi kehidupan. Bagikan ini:

Tuesday, December 17, 2013

Pendidikan Anti Korupsi

Opini, Harian Joglosemar 9 Desember 2013

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Perubahan Kurikulum 2013, yang menekankan rumusan empat kompetensi inti, yakni penghayatan dan pengamalan agama, sikap, keterampilan, dan pengetahuan, diharapkan mampu mengubah akhlak bangsa Indonesia. Seperti pendidikan agama ditambah satu jam pelajaran. Oleh karena itu penekanan pendidikan karakter, nilai, moral dan etika lebih dikedepankan. Hal itu tidak lepas makin maraknya korupsi dari masyarakat bawah maupun elite pemimpin di Indonesia. Menjadi ruh, bagsa ini lebih beradab.

dilihat di berbagai media bila aparat negara sendiri sangat dekat dan erat dalam lingkaran korupsi. Baru saja kita mendengar dan melihat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka pada Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Andi Malarangeng, Presiden Partai PKS Lutfi Hasan Ishaaq dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Penetapan tersangka menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi memang tidak setengah hati. Bukan karena dianggap sebagai momen peringatan hari korupsi sedunia tanggal 9 Desember. Namun KPK sebagai ujung tombak masyarakat dalam pemberantasan korupsi memang harus berani dan tegas, apabila bukti-bukti penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang sudah cukup kuat untuk menjeratnya.

Dalam catatan penulis masih ada kisah buram dalam negara ini berkenaan dengan masifnya korupsi sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Korupsi Wisma Atlet belum usai, sudah di depan mata penyimpangan (markup) disertai korupsi lintas birokrasi terjadi dalam pembangunan sport centre (pusat olahraga) proyek Hambalang, Bogor Jawa Barat.

Kejadian buram dengan terjadinya kekerasan di Mesuji dan yang terakhir di Bima, Nusa Tenggara Barat, Temanggung, Sampang Madura, menjadi penanda yang sangat memukul masyarakat secara luas. Belum lagi beberapa waktu lalu berkenaan dengan pembakaran di beberapa gereja dan kekerasan yang kerap menimpa kaum miskin, lemah dan tersingkirkan. Selalu menjadi korban perdayaan dari orang dan kelompok yang memiliki kekuasaan. Pelanggaran HAM yang terjadi dalam tahun 2011 relatif tinggi dan beragam, serta kerap diwarnai dengan tindakan kekerasan yang berlatar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum serta aspek lain yang menyangkut kepentingan “orang besar.”

Malah korupsi besar yang membebani tahun 2012 sangat kasat mata. Terkuaknya kasus proyek Hambalang dari Rp 125 miliar menjadi Rp 1,2 triliun dan berkembang sampai Rp 2,4 triliun. Korupsi Pengadaan sarana prasarana 18 universitas negeri yang merugikan negara Rp 16,24 miliar. (Kompas, 7/6/12). Proyek besar, korupsi besar sudah terencana sejak awal sampai pelaksanaan. Ironis sekali.

Semuanya terindikasi dengan berbagai cara yang sistematis. Buktinya belum selesainya penyidikan kasus Wisma Atlet, Bank Century, suap cek pelawat anggota DPR dari berkenaan pemilihan Deputy Bank Indonesia dan banyak kasus korupsi lain yang melibatkan pejabat Daerah Tingkat I dan Tingkat II sudah semakin masif. Bahkan menurut hasil survei tingkat korupsi paling tinggi dan besar terjadi di DPR.

Akibat

Semuanya merupakan bentuk pelanggaran HAM, berakibat merugikan rakyat kecil. Seperti dicatat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Jumlah pengaduan yang diterima Komnas HAM per Januari sampai Oktober 2011 adalah 3.780 kasus. Tren ini meningkat 14,37 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun 2010 sebanyak 3.237 kasus.

Berdasarkan data tersebut, tren pelanggaran HAM yang ditangani Komnas HAM tahun ini rata-rata 378 kasus per bulan, atau 86 kasus per minggu atau 12 kasus per hari. Bentuk pelanggaran HAM yang paling menyita perhatian publik tahun 2011 tertuju pada kasus sengketa lahan (land tenurial conflict) yang meningkat 20,56 persen dari 479 menjadi 603 kasus.

Korupsi yang melembaga dan sistematis merugikan uang negara triliunan rupiah. Saat Orde Baru, Prof Sumitro telah mengindikasikan sebanyak 30 persen uang negara dikorupsi. Saat ini justru lebih tinggi, berani dan terang-terangan. Akibatnya masyarakat yang dirugikan dan menanggung segala dampak dan bebannya.

Melalui pendidikan

Berurutannya hari antikorupsi (9 Desember) dan Deklarasi HAM Sedunia (10 Desember), menjadi momen penting pendeklarasian pendidikan anti-korupsi dan penegakkan HAM dalam pendidikan. Upaya mengeliminasi dan meredam berbagai pelanggaran tersebut dibutuhkan pendidikan antikorupsi dan HAM yang membumi. Sasaran utama adalah kelompok generasi penerus bangsa yang masih duduk di bangku sekolah. Seperti halnya yang diupayakan oleh Pemerintah melalui pendidikan karakter.

Namun, sejauh mana pendidikan tersebut mampu merasuk dan mengakar dalam diri peserta didik?

Pencanangan dan implementasi pendidikan karakter dalam bentuk konfirmasi, elaborasi dan eksplorasi dimasukkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sayang realitas dalam pelaksanaan masih tarik ulur antara kepentingan mata pelajaran inti yang harus diajarkan di sekolah. Guru belum seluruhnya mampu, sadar dan mau menerima penyisipan pendidikan karakter dalam bidang studi yang diampunya. Boleh dikatakan pelaksanaan pendidikan karakter masih setengah jalan, karena belum dapat mengubah dan memberikan pembinaan dalam perkembangan jati diri peserta didik. Hakikatnya pendidikan karakter tidak bisa dipisahkan dalam pendidikan antikorupsi dan HAM. Meski semua orang belum tentu tahu apa yang dimaksud antikorupsi dan HAM. Dari arti, hak yang melekat, kewajiban yang harus dijalankan, penyimpangan serta sanksi bagi yang melakukan pelanggaran. Serta bagaimana upaya memberi efek jera bagi koruptor sehingga tidak lagi menjadi budaya bangsa.

Korupsi sendiri oleh KPK sudah dianggap sebagai bahaya laten bangsa. HAM sendiri merupakan hak yang melekat pada manusia sejak dilahirkan. Maka dari itu semua manusia dalam kedudukan, posisi apapun tidak bisa semena-mena terhadap sesamanya karena dianggap melakukan pelanggaran HAM. Maka bagaimana upaya implementasi HAM terserap dan diaktualisasikan secara nyata dan penuh kesadaran dalam pendidikan di sekolah.

Pendidikan anti-korupsi dan HAM menjadi penting dijadikan sisipan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) selain pendidikan karakter. Keduanya mempunyai kaitan yang erat, dalam mendidik manusia (generasi muda) menjadi tangguh, tanggap, beretos kerja karena selalu dilandasi semangat penghormatan kepada sesama manusia. Semangat saling menghargai dan menghormati hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan.

Pendidikan ini akan hanya sebatas konsep dan teoritis semata. Yang penting dan dibutuhkan bagaimana pola pendidikan selalu berlandaskan pada pendidikan karakter. Sebuah perbuatan yang kecil, sepele dan tidak dianggap penting akan sangat berharga karena menjadi sebuah bentuk embrio dari tanggung jawab pekerjaan atau perbuatan yang lebih besar.

Banyak contoh nyata baik positif maupun negatif berkaitan dengan pendidikan anti-korupsi dan penegakan HAM bisa dimasukkan dalam kurikulum. Ini dapat menjadi kunci dari kehidupan sosial yang beradab menuju semangat berkeadilan bagi sesama manusia. Karena pendidikan anti-korupsi dan HAM bukan hanya direnungkan namun dilaksanakan secara bertanggung jawab dalam ranah pendidikan sesuai dengan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 45.

(penulis : Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)