Tuesday, April 29, 2014

Awas "Perselingkuhan " BOS

dimuat di Epaper KOMPAS Siang, 24 April 2014

BANTUAN Operasional Sekolah yang diberikan sesuai kuota minimal siswa sangat rawan dikorupsi dan dimanipulasi. Sejumlah sekolah dengan jumlah siswa minim bakal menerima kucuran dana BOS melebihi jumlah siswa.

Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 101 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana BOS Anggaran 2014. Dana BOS berfungsi mendukung penyelenggara wajib belajar Sembilan tahun secara efektif dan efisien (Pasal 2 Butir a).

Kuota minimal untuk SD 80 siswa dan SMP 120 siswa. Akan menjadi persoalan bila jumlah siswa tidak mencapai kuota, sementara pemberian dana BOS sesuai kuota. Besaran dana BOS untuk siswa SD Rp 580.000 per anak per bulan dan siswa SMP Rp 710.000 per anak per bulan.

Dengan demikian, bila sesuai kuota, untuk SD paling tidak mendapatkan dana BOS Rp 556 juta per tahun dan SMP Rp 1.022.240.000 per tahun.

Bila jumlah siswa di bawah kuota bakal ada sisa dana yang biasanya relatif besar dan dapat ”dimainkan” oleh pihak sekolah. Inilah salah satu bentuk kerawanan baru dalam penyalahgunaan dana BOS.

Sebuah ”perselingkuhan” sangat mudah terjadi meski ada Komite Sekolah (KS) yang berfungsi mengawasi atau mengontrol sesuai Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No 044/U/2002.

Komite Sekolah merupakan pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Oleh karena itu, KS harus mampu menjalankan fungsi dan perannya, terutama mencegah terjadinya penyimpangan, termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. KS harus mampu mengawasi ”perselingkuhan” pihak sekolah dengan BOS, dengan cara orangtua/wali benar-benar peka dan peduli akan nasib dunia pendidikan dengan memahami hak dan kewajibannya.

Komite Sekolah

Kepedulian dan pemberian kuota serta kenaikan dana BOS tidak lepas dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 60 Tahun 2011.

Dengan adanya dana BOS, tidak boleh lagi ada pungutan kepada calon siswa. BOS memenuhi kebutuhan pengadaan buku, sarana kegiatan belajar mengajar, dan kegiatan ekstrakurikuler.

Namun, apa jadinya bila terjadi penyalahgunaan? Pasalnya, dana BOS langsung masuk ke rekening sekolah atas nama kepala sekolah dan kadang KS tidak mengetahui rinciannya. Karena itu, demi mengawasi BOS, peran KS harus dioptimalkan.

Peran KS meliputi pemberi pertimbangan (advisor agency), pendukung (supporting agency), pengontrol (controlling agency), dan mediator pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Keanggotaan KS harus memenuhi unsur-unsur masyarakat (tokoh pendidikan, dunia usaha, organisasi profesi, wakil alumni, wakil orang tua/wali dan wakil siswa), serta unsur dewan guru.

Jumlah minimal sembilan orang. KS harus selalu proaktif dan ikut mengawal dari cairnya BOS sampai pendistribusian kepada siswa.

Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan penggunaan dana BOS 2009-2011 boros triliunan rupiah, terutama dalam hal pembelian atau pengadaan buku teks pelajaran yang didanai dana BOS. Bisa jadi pada setiap kucuran dana BOS terjadi upaya kolusi secara sistematis.

Oleh karena itu, independensi KS harus digalakkan, memahami, dan mendapat perlindungan hukum sehingga tidak mudah diajak ”selingkuh.” Ibarat ada gula ada semut, barang yang manis pastilah menggiurkan dan banyak yang mengincar.

Implementasi pemerintah

Karena dana BOS adalah bentuk implementasi tanggung jawab negara sesuai Pasal 31 Ayat (2) Amandemen UUD 1945, maka dana BOS menjadi penegasan kewajiban pemerintah memenuhi hak rakyat untuk memperoleh pendidikan.

Lebih tegas lagi dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Pasal 34 Ayat (2) menyebutkan bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.

Ditegaskan lagi dalam Ayat (3), ”Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”. Prinsipnya, BOS merupakan hak setiap warga negara. BOS tidak boleh dinegosiasikan, diperdagangkan, dan diperjualbelikan. Penggunaan dana BOS harus transparan terhadap para pemangku kepentingan, termasuk komite sekolah.

FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta, Jawa Tengah.

Tuesday, April 15, 2014

UN dan Kesiapan Mental

Opini harian Joglosemar 14-4-14 oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro Tujuan Ujian Nasional (UN) antara lain mengukur pencapaian belajar peserta didik dan mengetahui mutu pendidikan pada satuan, jenis atau jenjang pendidikan tertentu. Namun dalam implementasi kadang berubah seiring penyimpangan yang mengiringi. Padahal evaluasi, dalam dunia kependidikan merupakan sebuah hal yang penting. Namun, kita tampaknya memang masih belum satu kata menyikapi (UN) yang kontroversial, terutama ketika menjadikannya sebagai tolok ukur kelulusan siswa. Masih terlalu banyak yang harus kita benahi untuk menjadikan UN sebagai patok duga (benchmark) pencapaian rangkaian proses pembelajaran di negeri ini. Mulai dari disparitas kualitas proses pembelajaran, perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, hingga soal kurikulum dan kebijakan pendidikan yang terlalu sering berganti (Achmad. M. Akung 2010) Berdasar prosedur operasi standar (POS) No: 0022/P/BSNP/XI/2013 yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP). Aturan pelaksanaan UN 2014 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Sedikit perubahan dari bobot nilai Ujian Sekolah (40%) sebelum dipakai dalam penghitungan kelulusan yang dihitung 70 % nilai raport dan 30 % nilai Ujian Sekolah (US).. Saat ini yang dibutuhkan tinggal bagaimana mengukur kesiapan mental spiritual calon peserta UN. Pelaksanaan UN untuk SMA/MA/ SMK tanggal 14-16 April , SMP/MTs tanggal 5 – 8 Mei 2014.. Oleh karena itu kondisi kesehatan menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam mengerjakan soal yang diujikan. UN sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan tidak lepas dari upaya sistematis dan strategi dari Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud). Melalui BSNP segala bentuk evaluasi melalui UN dilaksanakan secara konsisten dalam mengukur pemetaan pendidikan Nasional. Bukan rahasia umum sebenarnya instrumen utama sebuah penilaian tidak hanya dari hasil UN. Maka masih tetapnya akomodir Nilai Ujian Sekolah (US) 40 % merupakan keberuntungan atau malapetaka. Pasalnya sering di dengar dan ditemukan nilai US penuh kecurangan dengan markup nilai. Dari beberapa hal krusial dalam pelaksanaan UN SMA dan SMP sederajat masih debatebel. Mampukah hasil UN selalu dapat menjadi tolok ukur peningkatan mutu pendidikan di tanah air? Pasalnya kecurangan melalui kebocoran soal, penyebaran kunci jawaban, soal, penggantian lembar jawab dan penggelembungan nilai masih banyak ditemukan. Hal itu sering terjadi dan sengaja dilakukan karena kesiapan mental, spiritual tiap sekolah berbeda. Baik kesiapan peserta, guru itu sendiri termasuk program sekolah yang sebagai persiapan seperti program karantina, try out ,latihan soal dan pelajaran tambahan. Memang masih banyak kelompok masyarakat yang skeptis (khawatir) terhadap tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan UN. Namun penulis yakin sebuah kekhawatiran akan memompa semangat peserta untuk bersiap menghadapi UN. modus Namun perlu di antisipasi modus kecurangan baru. Senyatanya masih ada celah terjadinya kecurangan secara sistemik. Bisa di lihat dari sistem penentuan kelulusan yang didasarkan pada rumus nilai akhir (NA) = 60 % (UN) + 40 % (US). Nilai sekolah yang berasal dari rata-rata nilai semester 1,2, 3,4 dan 5 dan US, memungkinkan terjadinya manipulasi data dengan markup (penggelembungan) nilai. Seperti dikatakan Menteri Pendidikan kebudayaan (Mendikbud), jika sekolah berlaku curang dengan mendongkrak nilai US, sekolah tersebut akan dikenai sanksi. Nilai ujian sekolah bisa dihapus (nol) dan sekolah yang bersangkutan masuk daftar hitam. Konsekuensi lain UN sangat tergantung kesiapan mental spritual peserta didik. Meski dengan penambahan mata pelajaran, intensitas latihan (tryout) dan tetapnya sistem penilaian. Tetapi bila mental juang siswa tidak dalam kondisi prima, maka ibaratnya peserta UN serasa tidak siap tempur. Oleh karena itu motivasi, semangat dan keyakinan akan mampu mengerjakan materi UN selalu digelorakan sejak dini. Peran guru mata pelajaran UN, guru Bimbingan Penyuluhan (BP) dan Kepala Sekolah sebagai motivator menjadikan prakondisi menjelang UN semakin kondusif. Kesiapan diri siswa semakin kuat dan mantap. Apalagi pembekalan latihan ujian, driling soal, tryout yang sistematis menjadikan peserta semakin percaya diri. Hakekat sekolah sebagai tempat siswa berproses, berinteraksi, belajar dan berkompetisi secara sehat . Hakekat guru Hakekatnya guru berfungsi sebagai agen pembelajaran (Transfer of knowledge). Guru bertanggung jawab “mengolah” siswa menjadi manusia yang berbudi pekerti, berkarakter, berkualitas, bermoral dan memiliki jiwa sosial (transfer of attitude). Bila kinerja dan tanggung jawab guru dalam melakukan pendampingan sesuai porsinya, maka siswa akan merasa diperhatikan, mental spiritualnya akan mengalami keseimbangan. Akhirnya menjadikan siap dalam menghadapi segala kondisi dan resiko, seperti halnya dalam menyongsong UN. Dilihat dari kesiapan mental dan semangat siswa diharapkan UN tidak hanya menjadikan sasaran peningkatan mutu pendidikan semu. Dimana apa yang dihasilkan hanya sebatas “karbitan” meski penentuan kelulusan diukur dengan UN dan prestasi belajar. Harapannya Pemerintah tetap memberi evaluasi konkrit dan holistik dalam UN. Masukan dari bawah (bottom up) secara acak dan menyeluruh dari berbagai daerah menjadi sangat penting. Seperti di impikan oleh Achmad M. Akung dengan adanya sekolah positif (positive schooling) untuk memetamorfosis negeri ini khususnya dalam menyiapkan UN. Sekolah positif (Snyder dan Lopez, 2007) adalah sebuah pendekatan dalam dunia pendidikan yang menekankan pada pentingnya peran seluruh komunitas dalam melakukan pembelajaran bagi siswa. Kesempurnaan menuju pendidikan bermutu karena peran warga sekolah sehingga menjadi dambaan bersama. Janganlah kita tenggelam dalam eforia dengan keberhasilan menekan prosentase kelulusan di daerah masing-masing tanpa mengkritisi kebijakan UN. Menurut Doni Koesoema (2008) UN yang cacat secara mendasar dan kontraproduktif bagi pendidikan serta membiarkan korban UN berjatuhan tiap tahun merupakan perilaku kebijakan pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Tanpa ada keberanian untuk mengevaluasi diri, momentum pembelajaran pasca-UN akan lewat begitu saja. Meski kesiapan peserta Ujian sudah teruji. Intinya kita harus saling belajar dari kesalahan dan saling intopeksi merupakan bagian pula untuk kemajuan. Sangat risi rasanya bila UN hanya menjadikan sebuah proyek semata tanpa melihat mental spritual pesertanya. FX Triyas Hadi Prihantoro Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta