Monday, August 11, 2014

Metode Mengajar dan Pengangguran Terdidik

OPINI Harian Joglosemar 11 Agustus 2014

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro (guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta)

Jumlah pengangguran terdidik, khususnya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat dan Perguruan Tinggi (PT) sangat mencemaskan karena angkanya terus meningkat. Seperti pernah dikatakan Ir Ciputra dalam rapat koordinasi nasional perguruan tinggi negeri dan swasta.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk tingkat pendidikan Diploma dan Sarjana masing-masing 7,5 persen dan 6,95 persen. TPT pendidikan menengah masih tetap menempati posisi tertinggi, yaitu TPT SMA sebesar 10,34 persen dan TPT Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 9,51 persen.

Jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang, dengan TPT Februari 2012 sebesar 6,32 persen turun dari TPT Februari 2011 sebesar 6,80 persen.Sedangkan jumlah pekerja dengan pendidikan Diploma hanya sebesar 3,3 juta orang (2,98 persen) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana sebesar 5,5 juta orang (4,98 persen).

Proporsi pengangguran terdidik terus meningkat dramatis mulai 17 persen (1994) menjadi 26 persen (2004) dan kini 50,3 persen. Jumlah sarjana yang menganggur melonjak drastis, alasan umum banyak program studi yang sudah mulai jenuh dan kurang kompetitifnya lulusan PT. Maka, bagaimana PT mulai memasukkan metode mengajar, guna “menciptakan” lulusan siap kerja dengan berjiwa entrepreneurship (pengusaha)?

Persoalan ini menjadi refleksi, seperti dalam sambutan National Summit 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik dunia pendidikan yang salah metode belajar-mengajar sehingga melahirkan pengangguran terdidik. Guru maupun dosen perlu mengubah metode mengajar. Pendidikan kewirausahaan bisa mengatasi pengangguran, hal itu terbukti ampuh di banyak negara.

SBY menghendaki bahwa pendidikan tidak lagi menghasilkan job seeker (pencari kerja) tapi job creator alias pencipta lapangan kerja. Studi kasus, mendorong siswa inovatif kreatif dan jiwa kewirausahaan sangat penting dan harus dipupuk, dibina, dioptimalkan di dunia pendidikan (dari SD sampai PT).

Guru yang mengajarkan pendidikan kewirausahaan sebagai salah satu realisasi program pendidikan dalam negeri guna meningkatkan kesejahteraan rakyat (prosperity). Michael Levin (Penasihat senior Kaullfan Foundation) menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan semakin diminati banyak negara. Ada 86 negara sudak menerapkan pendidikan kewirausahaan dengan berbagai pola. Bagaimana dengan guru di Indonesia?

Masalah banyaknya pengangguran terbuka lebih dari 50 persen adalah penganggur terdidik (sarjana) merupakan tanggung jawab pengelola pendidikan (guru). Oleh karena itu, bagaimana keberanian mengubah pola pembelajaran di sekolah dengan mengubah mindset (pola pikir) dengan keberanian secara frontal memberikan pendidikan kewirausahaan.

Momentum

Perubahan Kurikulum 2013 menjadi momentum penting untuk mengaplikasikan pendidikan kewirausahaan bagi siswa demi mengatasi peningkatan jumlah pengangguran terdidik. Esensi Tematik Integratif sebagai sebuah gagasan lahir dan diimbangi realitas dalam implementasi. Banyak kritikan kepada kualitas mutu pendidikan di Indonesia yang hanya mengejar kuantitas tanpa perimbangan kualitas mutu yang siap pakai menjadi pegangan.Dengan keberanian merubah dan menyisipkan pendidikan kewirausahaan tidak lagi mencetak penganggguran (unemployment).

Oleh karena itu, pendidikan inovatif kreatif dan kewirausahaan harus mulai membumi. Mendikbud Muhammad Nuh dalam menerapkan Kurikulum 2013, bergerak cepat untuk segera mengapresiasi sentilan Presiden berkenaan kesalahan metode mengajar.

Pasalnya, Presiden SBYjuga prihatin berkenaan jumlah angka pengangguran yang terus bertambah. Ini diakui ada mismatchatau ketidaksesuaian antara lulusan pendidikan dan kualifikasi yang dibutuhkan sektor industri dan jasa di masyarakat. Hal ini, berakibat saat sulitnya mencari pekerjaan.

Oleh karena itu, Kemdikbud harus tanggap dalam menyikapi permasalahan ini agar menuai hasil yang memuaskan. Sebagai orang nomor satu di jajaran Pendidikan di Indonesia berani melakukan gebrakan kepada dengan mengajak jajaran skuadnya (guru) untuk Sebuah program sinkronisasi dan menyinergikan tiga elemen yaitu kebijakan dalam bidang pendidikan, kualitas Sarjana yang di cetak PT serta lebutuhan lapangan pekerjaan efektif. Sebab permasalahan sekolah, pekerjaan dan pengangguran semacam lingkaran setan termasuk dalam proses pembelajaran dengan metode mengajarnya.

Bagaimana kita menyiapkan lulusan PT yang berkualitas dan mampu bersaing di era global. Juga lulusan yang kreatif menciptakan lapangan kerja (job creator) yang sudah menjadi komitmen untuk mengurangi angka pengangguran. Sebab, kekayaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah dan belum banyak diolah dan diperdayakan.

Harapan dengan mengubah Metode Mengajar akan mencetak tenaga kerja yang terampil (skilled), berkualitas, mumpunidan siap pakai. Namun saat proses memperoleh pendidikannya bermasalah termasuk dengan sering mudahnya mendapatkan nilai yang tinggi dan kurang ketatnya persaingan.

Fenomena rendahnya kualitas PT dan paradoks dunia usaha yang mengeluhkan sulit mendapat tenaga kerja disisi lain lulusan sekolah dan PT yang kesulitan mendapatkan pekerjaan (menganggur). Hal itu menunjukkan bahwa tidak ada garis lurus/sinergi antara lulusan PT dengan pangsa kerja sesuai kebutuhan dunia usaha.

Kualitas

Rendahnya kualitas lulusan PT Tanah Air merupakan permasalahan serius. Mengutip pendapat Darmaningtyas bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar mendapatkan pekerjaan yang aman. Sebab, lulusan PT tidak berani mengambil risiko untuk mandiri memulai usaha sendiri dengan wirasawasta, trainer, penterjemah, guide (pemandu), atau penulis.

Sebuah realita bahwa segala kemudahan dan cepat lulus PT sering kita lihat dan dengar. Banyak PT yang membuka sistem semester pendek/trisemester. Gampangnya membuka program studi dan lulus. Jelas menurunkan angka kualitas mutu. Termasuk, metode pendidikan PT lebih banyak mengajarkan hafalan kurang menekankan pemahaman konsep, konteks dan konten (isi), hanya aspek kognisi saja menjadi parameter penilaian akhir.

Begitu pula kurangnya kemandirian individualis mahasiswa, memecahkan masalah (problem solving) untuk menghadapai tantangan zaman. Di Bangku pendidikan tinggi kurang kreatif, tidak ber-ide, egois, tidak aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, kurang bersosialitas dan tidak melek IT (Informasi Tekhnologi) maka sangat diragukan pula kualitasnya. Menurut Aflin Tofler Kesuksesan manusia akan datang bila menguasai informasi dan komunikasi.

Semestinya awal menjadi pekerja, mau berkarier dengan semangat mengabdi. Pilih-pilih demi gengsi (kesombongan), egois dan rasa aman akan terserobot oleh mereka yang sudah berpengalaman. Semua terealisasi apabila perubahan metode mengajar dalam mendidik termasuk kesadaran bahwa kesuksesan bergerak dari bawah dengan jatuh bangun dalam kerja, membangun kewirausahaan, selalu kreatif dan inovatif.

Mengubah metode mengajar akan mencetak lulusan PT yang siap mental kerja baik dalam dunia usaha (kewirausahaaan) formal maupun non formal. Mengembangkan mindset (pola pikir) bahwa semua lulusan PT berpotensi, kreatif, kepribadian dan dinamis dalam menghadapi persoalan. Begitu!