Saturday, December 20, 2014

Kurikulum 2013 yang (belum) mandiri

OPINI harian Joglosemar 20 Desember 2014

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro - Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

LAHIRNYA Surat Edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kabinet Kerja Anies Bawesdan tentang penundaan pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13). Menandakan bahwa kurikulum ini masih banyak kekurangan dan perlu penyempurnaan.

Berdasarkan hasil sensus implementasi Kurikulum 2013 terhadap 6.326 sekolah. Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada tahun ini menunjukkan sebagian besar guru masih ragu-ragu dalam melaksanakan kurikulum baru. Keraguan muncul karena belum memahami bentuk dan praktik model pembelajaran tematik.

Seperti dinyatakan oleh Ketua Unit Kerja Menteri Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Agnes Tri Mutiati (11/11). Sensus kurikulum sendiri dilakukan satu bulan setelah Kurikulum 2013 dimulai. Sensus menunjukkan Kurikulum 2013 belum mandiri dalam implementasinya.

Menurut penulis, pemberlakuan Kurikulum 2013 secara serentak masih meninggalkan masalah. Problematika sosialisasi, workshop(pelatihan) dan pembagian buku paket sebagai kendala awal yang secara massif terjadi. Sebuah implementasi kurikulum yang berpotensi agar guru untuk kreatif, inovatif menuju kemandirian.

Isyarat bagi guru untuk penuh ide dan mampu mengaplikasikan standar kompetensi. Sehingga, saat guru bingung karena kekurangjelasan dari materi, semakin tidak jelas karena tutor, pengawas atau widyaswasra yang seharusnya menjadi nara sumber juga belum paham secara mendetail. Jadilah sebuah kurikulum yang mandiri total.

Sebuah asa dan imajinasi yang penuh ide dari guru membuat pelaksanaan kurikulum dapat berjalan efektif, efisien dan menemui sasaran yang diinginkan. Dengan kreativitas dan penuh inovasi akan menyongsong generasi emas (2045) Indonesia yang tangguh, kredibel, kapabel, dan penuh prestasi. Mampukan kemandirian kurikulum membentuk insan muda yang berkarakter sesuai tuntutan kurikulum?

Pasalnya, berdasarkan survei dari Trends Internasional Math and Sience Global Institute tahun 2007, hanya ada 5 persen peserta didik Indonesia yang mampu mengerjakan soal kategori tinggi yang memerlukan penalaran. Sedangkan di Korea mampu mencapai 71 persen. Oleh karena itu, dalam melaksanakan Kurikulum 2013, kreativitas guru dengan tingkat penalaran tinggi dituntut, demi mengaplikasikan tujuan yang diharapkan.

Namun, sayangnya pelaksanaan Kurikulum 2013 masih setengah hati. Bila dikomparasikan dengan tingkat kemampuan penalaran rata-rata yang masih rendah. Pelepasan tanggung jawab dengan mengharapkan guru-guru mampu mengaplikasikan dan menganalisis isi kurikulum tanpa instruktur yang benar-benar menguasai masalah.

Pasalnya, semua eleman yang seharusnya mengambil peran seolah-olah mandul. Dimulai dari tahap sosialisasi, pelatihan guru serta pendukung utama implementasi (silabus, buku paket) untuk sekolah tidak tersedia tepat waktu. Sehingga, masing-masing pihak saling jalan sendiri tanpa koordinasi. Sebuah proses perencanaan dari persiapan sampai pelaksanaan yang amburadul seolah tanpa komando.

Upaya optimalisasi pelaksanaan kurikulum yang penuh kemandirian, namun tanpa driver (pembawa arah) yang jelas guna mencapai sebuah tujuan yang diharapkan. Ironis memang saat rambu-rambu sebagai penanda sulit ditemukan, pelaksanaan kurikulum yang jalan sendiri, sekenanya. Buktinya, banyak sekolah batal melaksanakan Kurikulum 2013 karena merasa tidak siap.

Padahal, terbentuk kolaborasi yang tertata dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pemerintah daerah tingkat II dan sekolah sebagai ujung tombak pembelajaran yang bersentuhan langsung dengan peserta didik. Keberbedaaan muatan lokal dan sumber daya manusia, tidak seharusnya membebaskan diri untuk menentukan arah, jalan dan tujuan.

Seperti penelitian yang dilakukan Lee & Smith tahun 1996 membuktikan bahwa sekolah-sekolah dengan guru yang memiliki tanggung jawab kolektif tinggi mampu menghasilkan siswa-siswa dengan prestasi akademis yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sekolah sekolah lain dengan guru guru yang memiliki tingkat tangggung jawab kolektif sedang dan rendah. (Arends. 2008 ; 158).

Maka, saat kelengkapan yang diharapkan dan menjadi Pandora belum siap, serta didukung oleh suasana sekolah yang kurang komprehensif menerima perubahan. Kloplah sebuah kemandirian yang tidak membawa kepastian.

Kekurangsiapan infrastruktur pelaksanakan Kurikulum 2013, berakibat banyaknya sekolah mengundurkan diri dan kembali ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Seperti yang terjadi di Kota Solo, banyak sekolah mengundurkan diri karena ruang kreativitas, regulasi dan evaluasi yang belum mampu dipahami. Berarti penyebabnya ketidaksiapan guru dalam mengaplikasikannya karena kekurangpahaman dalam inovasi.

Peran

Guna mengisi ruang kreatif dan inovatif, stakeholder pendidikan ikut bertanggung jawab dalam implementasi demi menyongsong generasi emas. Perubahan pembelajaran, dari guru sebagai fasilitator (dalam KTSP), berubah menjadi pola peserta didik berusah mencari tahu dan mengobservasi. Disesuaikan dengan tema yang terintegrasi dengan kearifan lokal dan matapelajaran lain dalam satu kolaborasi.

Kesiapan melaksanakan Kurikulum 2013 di sekolah, dibutuhkan kultur sekolah mandiri yang inovatif demi antisipasi Kurikulum 2013. Budaya yang menjadikan sekolah siap dalam melaksanakan kurikulum yang masih “samar”. Seperti dikatakan oleh Terrence Deal dan Kent Peterson bahwa kultur adalah pola nilai, keyakinan dan tradisi yang terbentuk sepanjang sejarah yang mempunyai dampak terhadap kinerja dan membantuk cara berpikir, merasa dan bertindak. (Stolp & Smith. 1995),

Kemandirian yang sudah menjadi budaya sekolah, dibuktikan tidak ada keluhan yang massif dalam implementasinya. Dengan demikian peserta didik semakin lebih produktif, kreatif, inovatif dan memiliki sikap, perilaku, keterampilan serta pengetahuan yang terintegratif.

Sekolah menjadi ruang kreatif milik peserta pembelajaran (pendidik dan peserta didik) guna menyiapkan sejak dini generasi emas, yang mampu bersaing dengan bangsa lain. Budaya sekolah yang mandiri dan inovatif sangat besar pengaruhnya dalam penerimaan sebuah perubahan.

Menjadikan sebuah kesadaran dan kewajiban peran warga sekolah dan stakeholder pendidikan guna menyiapkan kuriulum yang harus penuh kreativitas. Guna menjadikan bangsa mandiri yang mampu memupuk, mengelola dan menciptakan segala kreativitas secara mandiri. Sehingga, menjadikan bangsa yang tidak selalu tergantung pada “pertolongan” bangsa lain. Benar-benar kurikulum yang butuh kemandirian. Bagaimana dengan sekolah kita dalam menyikapi Surat Mendikbud?