Friday, January 23, 2015

Reedukasi Moral dalam pendidikan

Suara Guru SUARA MERDEKA, 24 Januari 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

BANYAKNYA kasus asusila yang melibatkan kaum remaja (usia sekolah) membuat kita sebagai orang tua dan guru merinding. Solusi apa yang seharusnya dilakukan dalam pendidikan?

Hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa pada 2008 dari 4.726 responden siswa SMP/SMA di 17 kota besar, 62,7% mengaku tidak perawan, 21,2% mengaku pernah melakukan aborsi, (SM 14/12/13)

Berdasar data Badan Koordinasi Keluarga Bencana Nasional (BKKBN) 51 % remaja di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) telah melakukan hubungan seks pranikah. Artinya dari 100 remaja wanita 51 sudah tidak perawan. Sedang di beberapa wilayah lain tidak jauh berbeda. Surabaya tercatat 54 %, Bandung 47 % dan Medan 52 persen. Data dan fakta yang wajib menjadi intropeksi bagi orang tua, guru dan tokoh masyarakat.

Ada apakah dengan remaja kita saat ini? Apakah ada yang salah dalam dunia pendidikan yang semakin permisif?

Melihat kenyataan kehidupan remaja modern saat ini yang sudah melakukan seks pranikah. Demi menghindarkan diri dari perbuatan zinah (berdosa) dari sudut masyarakat, agama dan negara, maka harus di nikahkan. Namun bagaimana dengan usia mereka yang masih di bawah umur. Pastilah bertentangan juga dengan UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Merupakan kewajiban stakeholder pendidikan dalam upaya melakukan pencegahan. Jangan hanya akan mengecam, mengutuk dan memvonis remaja sebagai pihak yang salah dengan sanksi. Meski sanksi sosial cukup berat bagi remaja itu. Sebab saat berkembang dan beraktualisasi bisa menjadi bahan sindiran dan omongan seharusnya muncul rasa malu, sungkan dan ewuh pakewuh.

Melihat maraknya perbuatan asusila, seks pranikah, perkawinan muda, mengidentifikasikan harkat dan martabat remaja tidak ada harganya. Prinsipnya, untuk membenahi, memberikan penyuluhan, pembinaan tidak bisa instan. Semuanya merupakan proses dalam beradaptasi, menginternasisasikan nilai dan aktualisasi peran dalam kehidupan riil.

Bisa jadi akumulasi penyimpangan remaja sebagai bentuk protes kemuakan dalam berbagai sandiwara “orang dewasa”. Kebohongan visual menjadi penggerak utama remaja, beranggapan bahwa keboborokan bukan hanya milik mereka saja. Frasa kemunafikan sebagai pandora kasat mata.

Melihat dari sudut pandang idealisame remaja. Gerakan masif, mempertontokan seksualitas, melakukan seks pranikah dan pernikahan dini dapat dipakai acuan sebagai bentuk pemberontakan. Keterusterangan telah melakukan kegiatan terlarang bukan masalah yang tabu bagi remaja masa kini.

Kontrol dan Moral

Bahkan di dunia telematika (maya) yang serba online. Dengan mudah kita buka situs ponografi dan pornoaksi. Ironisnya pelaku, pembuat dan penyebar juga remaja itu sendiri. Bahkan tidak jarang mereka masih menggunakan seragam sekolah dan saling merekam adegan yang kurang senonoh tersebut.

Orang tua zaman sekarang tidak mampu lagi mengontrol, di tengah kesibukannya. Pasalnya remaja sekarang mudah sekali dan biasa melakukan kebohongan. Dosa, rasa bersalah tidak lagi menjadi alat deteksi, pencegah dan penyembuh. Namun kontrol sosial masyarakat menjadi penting digalakkan. Paling tidak keteladanan orang tua, guru, tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Moral atau moralitas (latin) merupakan tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia.

Sekolah dan lingkungan memiliki implikasi dan peran strategis sebagai wahana untuk membentuk karakter, mental, perilaku, sikap dan perbuatan menjadi manusia seutuhnya. Maka bagaimana menyikapi dengan sex education (pendidikan seks) yang lebih kreatif, positif dan kondusif untuk menjadikan manusia yang beretika, estetika, berempati, sosialisasi, bermoral dan bermartabat.

Oleh karena itu sekolah memiliki andil dalam pembentukan karakter melalui budaya sekolah dalam pendidikan moral dan etika secara masif. Seperti dikatakan oleh Charles Reade, taburkanlah tindakan dan engkau akan menuai kebiasaan; taburkanlah kebiasaan dan engkau akan menerima karakter; taburkanlah karakter dan engkau akan menuai takdir, (Julian 2001).

Melihat kenyataan perilaku remaja masa kini yang semakin absurd, demi pembentukan jati diri dan karakter, mengharuskan segala bentuk preventif ( pencegahan) penyimpangan seks digalakkan. Gerakan mengurangi dan mencegah seks bebas di kalangan remaja melalui berbagai propaganda, penyuluhan, pelatihan dan memperdayakan kaum volunteer (sukarelawan) dengan mengoptimalkan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Intensif sosialisasi pendidikan seks dalam moralitas sejak dini menjadi konsekuensi dari pencegahan seks bebas dan pernikahan dini. Keterlambatan dalam pemberian pengetahuan, pengertian, pemahaman, penalaran dan risiko yang lebih berat dalam menatap masa depan, menjadikan bentuk penyesalan yang datangnya belakangan. Maka pendidikan seks dini bukan lagi hal yang tabu lagi pada zaman digital sekarang ini. Cepat atau lambat remaja pasti ingin tahu dan saling membutuhkan. Semua perubahan, perkembangan biologis manusia sifatnya alami dan tidak bisa ditolak. Apa salahnya ditanamkan lebih dini, daripada mengetahui, memahami dan menafsirkan sendiri melalui dunia maya, gambar virtual atau mendengar cerita dari orang dewasa sekitarnya. (81)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta