Thursday, March 26, 2015

Kesetaraan Difabel dalam SNMPTN

OPINI Harian Joglosemar, Kamis 26 Maret 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro (Pendidik di Surakarta)

SOROTAN terhadap diskriminasi bagi kaum difabel disabilitas (cacat fisik atau berkebutuhan khusus) dalam berkesempatan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi perhatian bersama. Pasalnya, banyak aturan yang membuat ketidakadilan hak kaum difabel untuk studi lebih tinggi.

Apalagi dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014. Salah satu syarat peserta SNMPTN tidak tunanetra, tidak tunarungu, tidak tunawicara, tidak tunadaksa, tidak buta warna baik keseluruhan maupuan sebagian. Sebuah aturan yang “memasung” kesempatan kaum difabel, padahal belum di uji kompetensinya.

Oleh karena itu, Direktur Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Peni Wastutiningsih mengatakan kampusnya tetap berencana memberlakukan syarat khusus bagi pendaftar difabel, yang memilih jurusan tertentu, lewat SNMPTN. Pemberlakuan syarat, yang sempat menuai protes banyak aktivis difabel pada tahun lalu itu, tidak dihapus sepenuhnya (Tempo, 28/1)

Hal ini menunjukkan bahwa banyak sekali peserta didik yang menyandang disabilitas juga mempunyai prestasi. Sebagai contoh Leonard Athesltone (siswa SLB/B Pangudi Luhur) Kembangan, Jakarta Barat yang mampu menjadi juara 1 Olimpiade Sains Nasional (OSN) IPA tingkat Provinsi DKI dan Juara 2 OSN IPA tingkat Nasional tahun 2013. Prestasi tersebut menjadikan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong, Jakarta memberikan beasiswa belajar di Perguruan Tinggi (PT) tersebut.

Maka, wajar bila sebanyak 35 organisasi yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Difabel mengajukan somasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhamman Nuh. Dan, menuntut Mendikbud segera menghapus persyaratan SNMPTN yang mendiskriminasikan kaum difabel.

Berbagai alasan kemanusiaan,tidak tega, humanisasi namun justru membuat sakit hati. Banyak contoh kegigihan kaum difabel dalam menata dan berjuang demi kehidupan seringkali mengalahkan manusia normal (tidak cacat). Meski kenyataanya, penentu kebijakan di PTN, juga sudah menyatakan bahwa kuota pembatasan/larangan melanjutkan ke PT bagi kaum difabel.

Ibarat digebyah uyah podo asine, kaum difabel merasakan bahwa mereka masih diperlakukan dengan tidak adil. Dianggap kurang mampu untuk mengikuti tuntutan dari pihak PTN, atau merintangi dari proses kegiatan pendidikan di dalamnya. Maka gerakan protes masih muncul, sebab antara idealisme dan praktik dilapangan tidak sepadan.

Konstitusi sendiri sudah mengamanatkan, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (pasal 31 ayat 1). Tidak selayaknya perguruan tinggi melakukan pembedaan. Karena, setiap orang itu mempunyai kesempatan dan berhak untuk memperoleh pendidikan di perguruan tinggi, termasuk mahasiswa difabel. Namun, kenyataannya dalam pelayanan seringkali diskriminasi diterima bagi kaum difabel.

Keyakinan tidak ada pembedaan pernah diungkapkan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Dr Soedijono Sastroatmodjo pihaknya sangat terbuka jika ada anak berkebutuhan khusus yang ingin masuk Unnes. Hanya, mereka tetap melalui tahap seperti siswa lain. Semisal anak cacat fisik seperti kaki polio, bisa saja masuk ke fakultas non-kependidikan, misalnya hukum atau ekonomi, namun jelas menutup kemungkinan untuk masuk ke FKIP Jurusan Olah Raga.

Prinsipnya sesuai amanat UUD 1945 diskriminasi terhadap kaum difabel jelas melanggar konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Seolah mengebiri hak dan kemampuan warga Negara yang berkebutuhan khusus untuk mengembangkan segala potensi (akademik) yang ada pada dirinya. Sebuah vonis yang masih dapat diperdebatkan.

Apalagi Pemerintah sendiri selalu memberikan ruang kesempatan kaum difabel untuk mampu mengeksploitasi diri. Banyak ruang publik dilengkapi fasilitas kemudahan demi memudahkan, meringankan beban. Maka, tidak seharusnya pihak pengelola perguruan tinggi justru melakukan pembedaan.

Ketika ada calon mahasiswa difabel yang memiliki kemampuan akademis yang baik, tidak ada alasan bagi perguruan tinggi untuk tidak memberikan kesempatan. Nilai akademis itu sudah menjadi syarat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Studi Lanjut

Oleh karena itu Panitia penyelenggara Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2015 diharapkan memberikan kesetaraan kesempatan dan peluang yang sama kepada kaum penyandang difabel. Kesetaraan mengakses pendidikan sejalan dengan UU No 19 tahun 2011 yang meratifikasi hak-hak penyandang difabel.

Seperti dikatakan Ketua Umum Panitia Nasional SNMPTN-SBMPTN 2015, Prof Rochmat Wahab yang memastikan akan memperhatikan penyandang difabilitas. perlakuan diskriminasi tidak akan terjadi dalam penyelenggaraan SNMPTN 2015. Panitia akan menyiapkan pembimbing khusus bagi penyandang difabel untuk membacakan soal atau memberi waktu yang lebih panjang mengingat cara membaca braile bagi penyandang tunanetra membutuhkan waktu lebih lama dibanding orang normal. (Sindonews.com, 10/2/2015)

Meskipun demikian, dalam persiapan untuk seleksi penerimaan mahasiswa baru baik melalui jalur undangan maupun SNMPTN berbagai informasi persayaratan khusus wajib disosialisasikan sejak dini. Secara masif dan tanpa dikriminasi kepada siapa saja. Berbagai hal dijelaskan dalam persyaratan termasuk segala risiko yang mungkin terjadi bila kaum difabel memaksakan diri pada fakultas/ jurusan tertentu.

Pembentukan kesadaran kepada calon mahasiswa baru (difabel), menjadi sangat penting. Dengan demikian tidak terjadi sebuah keputusasaan, kekecewaan, sakit hati berkenaan dengan, pelarangan secara tidak langsung terhadap kehendak dirinyanya untuk maju dan berkembang.

Paling tidak mundurnya calon mahasiswa difabel karena tidak semata-mata aturan, namun karena keikhlasan diri akan batas-batas kemampuan fisiknya. Jadi, aturan pelarangan calon mahasiswa difabel merupakan bentuk dehumanisasi. negara secara nyata melakukan diskriminasi kepada warganya.

Prinsip pendidikan untuk semua tetap dijalankan sesuai dengan visi dan misi. Tata krama etika, moral dan kepatutan untuk menjalankan kepatuhan sejalan dengan berbagai akibat yang timbul tetap berjalan sesuai dengan koridor hukum.

Calon mahasiswa difabelpasti sadar akan kemampuannya masuk ke PT yang menjadi pilihannya. Pasalnya, bila memaksakan diri akan tereliminasi dengan sendirinya. Ini berarti PTN memahami, mengerti dan menghormati akan hak-hak yang melekat pada diri manusia termasuk kepada kaum difabel.

Meski demikian bila mampu menujukkan kualitasnya di PT, para difabel tersebut juga harus mendapatkan keistimewaan dalam hal sarana dan prasana perkuliahan. PT diharapkan mampu memberikan fasilitas pendukung yang memadai bagi mereka. Data dan fakta memang sudah ada sejumlah PT yang telah menyediakan fasilitas khusus bagi mahasiswa difabel, seperti akses bagi mahasiswa yang menggunakan kursi roda. Sehingga, para difabel tersebut tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses perkuliahan.

Kaum difabel juga manusia. Prinsip humanisasi (memanusiakan manusia) menjadi harga yang tidak bisa ditawar lagi. Harapannya sorotan larangan bagi kaum difabel untuk masuk ke PTN tidak berkembang liar keluar dari batas norma, etika dan kesopanan. Semoga.

Friday, March 13, 2015

UN, Ujian Ke(tidak)jujuran ?

SUARA GURU, SUARA MERDEKA 14 Maret 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Berkali kali ikrar pakta integritas Ujian Nasional (UN) dilakukan, namun ketidakjujuran tetap terjadi. Dambaan dari UN yang jujur dan bersih hanya sekadar pemanis bibir tanpa ada implementasi yang riil.

Seperti sering ditemui permasalahan saat UN berlangsung, tak hanya menemukan soal bocor, beredarnya kunci jawaban dan lemahnya pengawasan sering ditemui. Seharusnya UN bisa menjadi ujian kejujuran siswa, karena ujian kejujuran itu justru saat kepepet.

Demi mengantisipasi kecurangan, beberapa sekolah ditunjuk UN 2015 Computer Basis Test (CBT). Namun dengan sisten UN CBT, Apakah peserta dan panitia pelaksana ujian mampu mematuhi dan menaati komitmen bersama. UN yang jujur dan bersih, ataukah masih menjadi bentuk ujian ketidakjujuran.

Pelaksanaan UN yang semakin memperlihatkan bagaimana kecanggihan, kelihaian untuk berbuat curang dan tidak jujur.

Apa yang dilakukan oleh beberapa kepala sekolah SMK di Solo Raya pada tahun 2014, terkait dengan terungkapnya jual beli soal dan jawaban, sebagai bukti bahwa ketidakjujuran melaksanakan UN menjadi hal yang biasa dan bukan beban. Ketiadaan rasa takut berbuat curang karena tidak akan mendapatkan sanksi keras baik secara formal maupun sosial.

Oleh karena itu, saat ketidakjujuran menjadi budaya setiap UN berlangsung tanpa sebuah hukuman yang menimbulkan efek jera. Bukan lagi sebuah ketakutan dan membuat rasa malu bagi pelaku, justru menjadi kebanggaan. Ironis sekali mental anak bangsa bila cita-cita kualitas mutu pendidikan menjadi dambaan dan harapan bersama.

UN SMA sederajat baik yang paper test (tertulis) maupun CBT diharapkan berjalan dengan baik. Jangan sampai noda hitam ketidakjujuran selalu melekat. Idealnya berkaca dari pengalaman UN sebelumnya (mulai dari kesalahan distribusi, soal rusak dan bocor, beredarnya kunci jawaban) menjadi lebih baik dan transparan.

Meski upaya kecurangan selalu dilakukan oleh pihak-pihak yang mencari kuntungan dalam kesempitan. Namun segala antisipasi dini harus bisa diprediksi, sebagai upaya untuk membantu proses pembentukan karakter jujur dalam diri siswa.

Dalam persiapan UN, guru perlu membantu siswa agar mempersiapkan diri dengan baik. Guru mengajar hal yang esensial, yang perlu dikuasai siswa. Karena soal UN hanya membahas materi yang sangat mendasar, sesuai kisi-kisi yang diberikan pemerintah.

Tentu saja, hanya guru yang menguasai materi pelajaran yang mengetahui materi”hakiki” dan ”mendasar” itu. (F Waruwu, 2014)

UN yang sudah menjadi bagian rutin dari prosedural pembelajaran di sekolah, bukan menjadi beban dan ketakutan. Namun saat ketidakjujuran menjadi kewajaran merupakan bentuk perlawanan paradigma dari hakikat UN. Maka sesungguhnya dari berbagai try out (latihan soal), tambahan pelajaran dan penguasaan konsep, seharusnya guru sudah bisa mengukur kemampuan siswa.

Acuan Baku

Sesuai Prosedur Operasional Standar (POS) UN, berlaku tata tertib umum di mana siswa dilarang membawa alat bantu (kakulator,catatan, kamus), bertanya, mencontek dan memberi bantuan jawaban kepada peserta lain. Siswa dilarang keras keluar ruangan, kecuali ada masalah yang serius (kurang sehat).

Sanksi pelanggaran siswa tidak hanya dikeluarkan dari ruang ujian dan diberi nilai tapi juga diproses secara hukum.

Namun sayangnya, aturan yang sudah menjadi acuan baku, tidak lagi digagas sebagai aturan. Penyimpangan dan pelanggaran tetap terjadi, maka sering UN dianggap sebagai ujian ketidak jujuran. Hal ini terjadi karena guru kurang menguasai bidang yang diajarkan. Lebih banyak memberikan latihan soal kepada siswa tanpa mampu menjelaskan konsep dasar yang harus dikuasai siswa.

Dengan demikian secara tidak sadar, siswa merasa terdesak dan tidak mampu memahami konsep belajar yang didapat. Menjadikan siswa semakin dipaksa untuk lebih belajar giat dan lebih keras berimplikasi siswa semakin takut, cemas, gelisah dan apriori menjelang UN.

Kondisi gamang dari siswa yang demikian, mudah kepincut oleh iming-iming untuk berbuat curang. Kondisi”sakau” siswa yang tidak mampu berpikir realistis, kritis dan edukatif memudahkan menerima tawaran bocoran soal, pesan singkat, bocoran jawaban, kunci jawaban daripada kemampuan sendiri. Maka menjadi sah bila ketidakjujuran terjadi dalam setiap UN.

UN yang tidak jujur sebagai bentuk realitas dari kemampuan guru maupun siswa yang kurang profesional. UN sebagai bentuk evaluasi, dalam dunia kependidikan merupakan hal yang penting. Namun, kita tampaknya memang masih belum satu kata menyikapi UN yang kontroversial (sarat ketidakjujuran).

Dalam menyikapi UN yang jujur dan bersih, masih banyak yang harus dibenahi untuk menjadikan UN sebagai patok duga pencapaian rangkaian proses pembelajaran di negeri ini. Seperti dikatakan M Akung (2010), mulai dari disparitas kualitas proses pembelajaran, perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, hingga soal kurikulum dan kebijakan pendidikan yang terlalu sering berganti.

Data Pemantau Independen dan Pengawas Nasional sangat mencengangkan. Daerah yang masuk”kelompok putih”, bersih kecurangan UN hanya mencapai 17 persen.

Daerah abu-abu, dengan persentase kecurangan UN, antara 21 dan 90 persen, mencapai 42 persen, sementara daerah yang paling tinggi terjadi kecurangan UN atau disebut ”kelompok hitam” mencapai 39,99 persen. Persentase kecurangan UN di daerah ini 90-100 persen.

Apakah berarti dari fakta, data dan prosedural UN, bahwa kecurangan (ketidakjujuran) masif terjadi di mana-mana secara nasional menjadikan pembenaran. Mengubah mindset UN menjadi ujian ketidakjujuran. Karena banyak terjadi sekolah tunduk pada ketidakjujuran. Dengan membantu kemudahan mengerjakan UN kepada siswa membentuk anggapan bahwa etika, harga diri, dan moral kejujuran bisa ditawar dan dibeli. Berarti sekolah sudah menciptakan generasi tidak jujur di masa depan.

Pelaksanaan UN tetap menjadi pandora dan batu ujian sekolah. Mampukah untuk tidak tergoda atau terbawa arus karena ketidakpercayaan diri. Sekolah merupakan tempat candradimuka siswa yang berkepribadian, berkualitas, berakhlak mulia dan jujur.

Semoga UN SMA dan SMP sederajat pada April mampu mengimplementasikan kejujuran. Atau sebaliknya ajang unjuk gigi ketidakjujuran secara komrehensif. (81)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Wednesday, March 04, 2015

Epistoholik Indonesia, komunitas "Penyengat"

Surat Pembaca Kompas Jateng 3/02/2010

Lebah adalah salah satu hewan yang ditakuti/ disingkiri karena sengatan beracunnya. Disatu pihak sangat dibutuhkan karena produski madunya. Bahkan banyak para tabib yang memakai sengatan lebah sebagai salah satu alternatif penyembuhan.Demikian juga komunitas EI (Warga Epsitoholik Indonesia).
Komunitas EI adalah sebuah komunitas yang egaliter, berpihak pada kebenaran demi kemasahalatan menjadikan salah satu kelompok penyeimbang dalam kehidupan.bermasyarakat dan bernegara.
Ada salah satu suara warga yang bertanya, apakah EI itu? Mengapa sering menulis di kolom Surat Pembaca Kompas edisi Jawa Tengah?
Berulang kali sudah dijabarkan dan dijelaskan oleh warga EI. Namun yang pasti EI adalah komunitas "penyengat". Bisa jadi ditakuti oleh siapa saja karena kekritisannya, satu sisi dibutuhkan karena menyuarakan suara masyarakat (kepentingan bersama).
Pada Ulang Tahun ke 5 (27 Januari 2010) Komunitas EI harus semakin berani memberikan sengatan-sengatan yang lebih berkualitas dan membangun.
Maka marilah terus menerus selalu menulis. Dengan tulisan di media massa merupakan alat penyengat ampuh bagi yang terkena. Harapannya dari tulisan tersebut ada upaya perbaikan demi keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran

FX Triyas Hadi Prihantoro
SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta
warga epistoholik Indonesia

Tuesday, March 03, 2015

Merealisasikan wajib belajar 12 tahun

Opini, Joglosemar Senin 2 Maret 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Pemerintah melaksanakan wajib belajar (wajar) 12 tahun bukan lagi sekedar wacana. Hendak diberlakukan dengan asumsi program wajar 9 tahunsudah berjalan dengan baik dan sukses. Namun bagaimana dengan kesiapannya?

Untuk wajar 12 tahun, sudah disiapkan dana sekurang-kurangnya Rp. 46 triliun dari Pemerintah Pusat. Indikasi upaya penyiapan generasi muda terdidik dengan harapan mampu berintegrasi dan memiliki daya saing. Dana yang sedemikian besar diharapkan memampukan warganya menjadi bangsa yang berkualitas.

Menjadikan buah pemikiran kita bila, tingkat pendidikan yang tinggi (SMA sederajat) bisakah menjadi bangsa yang tetap rendah hati dan mau melakukan kebiasaan (kerja) sesuai kemampuan. Sebab menjadi permasalahan bersama, ketika banyak anak muda yang tidak mau lagi menekuni menjadi petani, buruh, nelayan, entreprenur, pedagang dan wiraswasta.

Petani dengan asumsi Indonesia negara agraris dengan hamparan pertanian subur. Nelayan karena wilayah Indonesia mayoritas air (laut), sehingga membutuhkan tenaga kerja yang kompeten. Seperti halnya sebuah ironi dari sebuah tulisan di kompasiana (17/5)“ Sarjana Pertanian tidak bisa “hidup” dengan memanfaatkan keahliannya di negara agraris.”

Maka layak menjadi intropeksi bersama atas sebuah, target dari kebijaksanaan yang komprehensif dan holistik. Dengan sebuah kesiapan dalam dunia kerja belum sesuai harapan, karena semua masih serta utopis dalam mencapai sasaran sesuai target. Kadang perencanaan yang muluk tidak sejalan dari konsistensi pembuat keputusan , pelaku dan subyek dari wajar itu sendiri.

Oleh karena itu, kesiapan wajar 12 tahun kadang tidak sesuai dengan harapan. Lulusan SMA sederajat sering gengsi bekerja “kasar”. Maksud Pemerintah untuk meningkatkan harkat derajat bangsa menjadi bangsa terdidik. Kenyataanya rasa sombong , individualis, egois , merasa lebih terhormat (pandai) dari tingkat pendidikan lebih mengemuka. Dibandingkan rasa rendah diri dan kekuatan batin untuk semangat maju dengan usaha, perjuangan dan kerja keras.

Banyak kasus terjadi lebih baik kerja di pabrik sebagai buruh dan menganggur di kota besar. Daripada mengolah tanah pertanian, menjadi nelayan, tukang kebun, pegiat seni dan pekerjaan lain sejalan dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian jadilah pengangguran intelektual yang sangat membebani

. Realitas

Kehendak wajar 12 tahun harus melihat realitas ditengah kondisi kehidupan masyarakat kita yang sesungguhnya. Upaya peningkatan kualitas pendidikan ditengah segala bentuk kemunafikan peningkatan mutu itu sendiri. Anomali pendidikan menjadikan paradok kehendak visi misi dan tujuan pendidikan ideal.

Seperti dalam kebijakan Pemerintah saat wajar 9 tahun dalam evaluasi dalam bentuk Ujian Nasional (UN). Untuk tingkat SMP diintruksikan adanya kelonggaran dalam pengawasan dan kemudahan dalam penilaian sehingga diharapkan tingkat kelulusan tinggi.

Besarnya prosentase kelulusan yang mendekati angka seratus prosen, dinyatakan keberhasilan wajar 9 tahun. Lalu apa jadinya bila realisasi wajar 12 tahun, apakah ada jaminan mutu kualitas pendidikan. Sebab kemampuan lulus tidak sebanding dengan kualitas kesiapan dalam melanjutkan studi dan bekerja.

Ketidakmampuan mutu lulusan dilihat dari kesiapan kerja. Wajar 12 tahun membutuhkan kesiapan arah dan pedoman. Bila sekarang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sedang menjadi idola, maka wajar 12 tahun tentu lebih dispesifikasikan/ mengarah pada pendidikan SMK.

Dengan demikian alokasi dana yang dianggarkan akan tidak sia-sia. Biarkan mereka (siswa) yang memiliki kemampuan financial lebih (kaya) diarahkan masuk SMA dan bukan bagian dari wajar 12 tahun. Karena lulusan SMA sendiri, sebagai langkah dasar untuk menuju pendidikan profesional di Perguruan Tinggi.

Bila melihat realitas fakta tingkat pertumbuhan ekonomi stagnan. Bahkan ada yang mengatakan terjadinya penurunan tingkat pendapatan dan angka pengangguran semakin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pengangguran per Februari 214. Tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 5,7% atau 7,15 juta jiwa. Angka tersebut turun dibandingkan Februari 2013 yang sebesar 5,82% (7,2 juta jiwa) maupun Agustus 2013 yang 6,17% (7,41 juta jiwa)

Maka memang perlu sebuah kesiapan dalam program wajar 12 tahun. Sehingga tidak lagi mencetak penggangguran namun menciptakan tenaga kerja profesional yang siap ditempatkan dimana saja dan level apa saja sesuai dengan keahlian dasar.

Siap

Wajar 12 tahun butuh kesiapan mental, material dan spiritual. Berarti tingkat kemampuan dan penghargaan bila bekerja sejajar dengan Pegawai Negeri SIpil (PNS) golongan IIA. Padahal Pegawai Golongan II A dengan masa kerja 0 tahun mendapatkan gaji pokok sebesar Rp 1.320.300. Ironisnya tuntutan umah minimum regional (UMR) sebesar Rp. 1 jutapun sulit direalisasikan. Rata-rata penghargaan untuk buruh hanya sekelas lulusan pendidikan dasar. Meski jaman sekarang kebanyakan lulusan SMA sederajat . Sebab untuk lulusan SMP hanya mampu menembus menjadi pembantu rumah tangga.

Dengan demikian perlu dipikirkan, benarkah wajar 12 tahun Pemerintah sudah siap untuk menyetandarkan pendapatan yang harus diperoleh bila lulusannya hendak bekerja. Langkah yang sangat berani ditengah ketidak mampuan memberikan kesejahteraan hakiki kepada warganya.

Sebab menjadi kerprihatinan bersama, angka kemiskinan masih tinggi, Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang, atau bertambah 110 ribu orang jika dibandingkan dengan periode Maret 2013 sebesar 28,17 orang. Di Solo raya sendiri rata rata 25 persen rakyat miskin di kabupaten kecuali kota Solo.

Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk menekan angka kemiskinan. Pertama, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang tidak produktif secara ekonomi. Kedua, masyarakat miskin yang berada pada usia produktif harus bekerja.

Atau sudahkah kemampuan wajar 12 tahun sesuai dengan kualitas yang diharapkan demi menekan angka kemiskinan? Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar memperoleh pendidikan layak.

Hal itu dipikirkan, saat pengelolaan pendidikan masih corat marut dengan amburadulnya pelaksanaan UN 2014 dan kekurang jelasan pelaksanaan kurikulum 2013 sampai akhirnya dibatalkan. Serta masih terjadinya penyunatan bantuan pendidikan (korupsi), kasus kekerasan di sekolah, plagiatisme intelktual, serta gedung sekolah masih banyak yang kurang layak (rusak) termasuk kekurangan kelengkapan sarana prasarana.

Maka wajar 12 tahun bisa dikatakan harus disiapkan secara holistik dan matang. Uji kelayakan dan kepatutan dengan penelitian dan pengembangan (litbang) sebelum menjadi kebijakan komprehensif. Yang nantinya menghasilkan generasi “emas,” dengan adanya kelebihan demografi. Sudah siapkah?

FX Triyas Hadi Prihantoro (pendidik SMA di Surakarta)