Saturday, May 30, 2015

Menjaga Semangat Belajar

Opini Harian KOMPAS

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Erupsi Gunung Merapi banyak meninggalkan kepiluan bagi korban bencana yang mengungsi. Kerugian moril, material, dan kesenduan jiwa raga sudah tak terbendung. Doa, bantuan moril materiil mengalir sebagai wujud rasa simpati dan empati.

Demikian halnya puluhan ribu siswa diliburkan sebagai dampak penetapan daerah bencana, debu vulkanik, dan sekolahnya dijadikan sebagai tempat pengungsian. Tempat itu tidak memungkinkan dipakai guna melaksanakan dan mengikuti kegiatan belajar-mengajar (KBM) secara layak.

Bencana Merapi ini juga menjadikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) memberikan pengeculaian kepada siswa pengungsi dan sekolah sebagai tempat pengungsian. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh sendiri mengatakan bahwa pengecualian khusus bisa berupa penundaan ujian semesteran dan KBM dalam bentuk sekolah darurat. (Kompas Jateng 9/11/2010).

Paling menarik pernyataan Mendiknas dan perlu disosialisasikan lebih lanjut, ”Selama mengungsi bisa belajar dengan fasilitas yang ada. Tidak harus berstruktur tegas seperti di kelas normal. Maknanya menjaga semangat belajar itu.”

Ibaratnya, pendidikan adalah pembelajaran sepanjang hayat dengan tetap menjaga semangat untuk terus belajar. Di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun belajar dapat dilakukan. Yang dibutuhkan bagaimana menjaga semangat itu agar tidak luntur.

Dalam keadaan sulit, siswa harus tumbuh motivasi belajarnya dalam segala relasi. Kutipan Charles J Keating (1987) berdasarkan pendapat J Shiff. Tanpa menyadari atau memaksudkannya, kita menjadi orang yang sulit karena orang lain tidak dapat berkomunikasi dengan kita. Mereka berbicara tentang kebutuhannya sendiri dan kita merefleksikan pengalaman kita sendiri yang tidak mempunyai atau sedikit hubungannya dengan saat sekarang. Situasi dalam keadaan darurat memang tidak memungkinkan berjalan secara normal. Namun, kesulitan yang dialami bukanlah penghambat untuk tetap mau belajar. Hidup di area pengungsian juga merupakan pembelajaran riil dalam situasi terdesak dan terpaksa.

Prediksi

Bencana yang terjadi bukan kehendak manusia dan tidak bisa diprediksi. Siswa tidak bisa belajar sebagaimana dalam keadaan normal bukanlah keinginannya. Namun, bagaimana kondisi sulit ini dapat diterima manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) dalam jalinan relasi demi tetap mampu menggapai harapan, mengedepankan positive thinking dalam komunikasi intens dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai bahan sharing dalam tulisan ini, saat rawan bencana, sekolah berkebijakan meliburkan siswa sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Dipastikan hal itu dapat membawa dampak psikologis, moril, dan materiil. Bagaimana nasib siswa untuk bisa aktif mengikuti pelajaran? Bagaimana pula kondisi sekolahnya, masih ada apa sudah hancur?

Namun, bila selalu dipompa dan diberi motivasi dengan solusi akan dapat memberi semangat untuk tetap berjuang. Semangat itulah yang masih menjadi pandora pencerah asa.

Seperti halnya sekolah penulis menerima 38 siswa dari SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan sejak 8 November. Siswa- siswi itu berasal dari wilayah Surakarta untuk dititipkan mengikuti KBM karena SMA tersebut dipakai sebagai posko bencana dan tempat pengungsian. Di sekolah berasrama itu, sebagian siswa memang membantu sebagai relawan namun sebagian pulang ke daerah karena diminta orangtua.

Kebijakan Kepala Sekolah Van Lith dengan membuat rekomendasi kepada siswa yang ingin tetap mengikuti KBM di sekolah asal dan mau menerima merupakan solusi yang bijak. Dibutuhkan sikap proaktif dan apresiatif dari sekolah penerima siswa tersebut. Karena merupakan keadaan darurat, segala kemudahan harus diberikan, termasuk saat mengikuti KBM dengan minimnya buku pelajaran, tidak berseragam, dan kondisi yang letih. Penolakan siswa pengungsi untuk belajar berarti menodai semangat Pembukaan UUD 1945 ”mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kepekaan nurani dengan dukungan penuh warga sekolah semakin memompa untuk tetap prima dalam belajar. Seperangkat sistem perilaku yang saling tergantung yang tidak hanya memengaruhi satu sama lain tetapi juga menanggapi pengaruh luar (Charles J Keating, 1987). Ditegaskan oleh McGraw-Hill Book Co (1967), persepsi yang cermat mengenai orang lain di dalam sebuah kelompok tidak diinginkan jikalau kita mencari sarana terbaik untuk hubungan antarpribadi yang sehat dan produktif dalam kelompok itu.

Siswa dalam pengungsian dan penitipan akan hidup dalam kelompok barunya. Dibutuhkan sikap proaktif dengan menerima dari segala kekurangan dan kelebihan menjadi sebuah rasa yang membesarkan hati dan jiwa. Begitu pula siswa maupun sekolah yang berdekatan dan aman wajib memberikan peluang dan kesempatan untuk menerima saudaranya yang sedang mendapatkan cobaan.

Oleh karena itu, dengan melihat status Awas Merapi yang masih berlaku dan belum menurun menjadi Siaga maupun Waspada, semakin banyaknya siswa yang telantar dalam mengikuti KBM, dibutuhkan kebijakan yang tepat demi masa depan anak bangsa. Cepat tanggap dari penentu kebijakan pendidikan sekolah, daerah, dan nasional menjadi pencerah akan ketidaktertinggalan materi pelajaran.

Semangat

Seperti sebuah ungkapan ”di mana ada kemauan di situ ada jalan”, segala masalah dan persoalan pasti ada jalan keluar asal muncul kemauan dan semangat yang menggelora untuk mencari alternatif pemecahan. Semangat dapat memupuk hasrat dan kekuatan yang tinggi untuk melakukan suatu perbuatan.

Sekolah dan kelas darurat saja tidak cukup, mengingat situasi kondisi yang mendesak dan segera butuh tanggapan spontan. Pasalnya, perkembangan siswa dalam KBM seyogianya sesuai yang diharapkan dengan mendapatkan tempat yang nyaman dan representatif. Sebab melihat kepedulian dan respons Kemendiknas mengenai hal ini dibutuhkan empati dari sekolah lain dan pejabat daerah ”tetangga” untuk proaktif dan membantu pendampingan. Relawan saja memang kurang cukup. Dibutuhkan pendidik yang mumpuni. Spontanitas relawan sangat membantu. Namun, perkembangan dan pendampingan mendapatkan materi pelajaran dibutuhkan pendidik yang capable.

Menurut WS Winkel (1991), cara belajar siswa yang terdampingi diarahkan dan tidak dibiarkan berlangsung sembarangan tanpa tujuan. Tuntunan itu diberikan melalui pergaulan pedagogis yang bersifat mendidik. Prinsipnya, siswa dapat terkontrol perkembangan dalam belajar sesuai jenjang pendidikan karena bergabung dengan teman seusia dan sederajat.

FX TRIYAS HADI PRIHANTORO Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta