Saturday, July 25, 2015

Politik Uang dalam PPDB

Suara Guru, SUARA MERDEKA, 25 Juli 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Tidak dimungkiri bagi sekolah dari tingkat PAUD, TK, SD, SMP dan SMAsederajat, pemenuhan jumlah peserta didik menjadi tujuan utama agar sekolah tetap ”hidup” demi menjalankan aktivitasnya.

Dan proses kompetensi, persaingan dalam pemenuhan kuota dilakukan setiap proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Bagi sekolah swasta meski sudah diawali jauh-jauh hari (pada awal Januari) dalam penjaringan PPDB melalui publikasi spanduk, media sosial dan cara lain. Kadang belum juga menorehkan hasil yang memuaskan, meski dengan berbagai propaganda kemudahan, dan rayuan ”hadiah” yang menggiurkan.

Untuk sekolah negeri, pada umumnya harus mengikuti petunjuk dan surat dari dinas pendidikan masing-masing daerah. Mencuri start dipastikan akan dikenai sanksi tegas, karena semua dana operasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Maka jarang muncul kekhawatiran bagi pengelola. Jika kekurangan peserta didik, akan digabungkan dan pendidiknya disebar kembali ke sekolah yang membutuhkan.

Khusus sekolah swasta, mengapa pemenuhan jumlah peserta didik menjadi harga mati bagi sekolah? Hal tersebut tidak lepas dari program bantuan bagi lembaga pendidikan melalui bantuan opersaional sekolah (BOS) dan program tunjangan sertifikasi bagi para pendidiknya.

Maka tidak heran, berjuang sampai ”nggetih” atau berdarahdarah dilakukan warga sekolah untuk mendapatkan peserta didik. Bahkan kadang dilakukan dengan cara tidak terpuji dengan politik uang. Dan fenomena ini secara kasat mata sudah terjadi, sebuah cara kompetitif yang tidak sehat dalam pendidikan.

Peran Pemerintah

Politik uang PPDB inilah yang sekarang kelihatan mulai menggejala. Janji bebas uang gedung, uang sekolah, dapat seragam gratis bahkan orang tua siswa diberi bonus uang segar menjadi fenomena sekolah di pinggiran. Harapannya jelas agar sekolah dapat hidup, bantuan mengalir dan tunjangan bagi pendidikan tetap lancar.

Melihat fenomena yang terjadi saat ini, peran pemerintah sangat besar guna menengahi demi rasa keadilan atas kesenjangan dan persaingan yang tidak sehat. Seperti informasi yang penulis dapatkan saat bertemu beberapa teman guru dan anggota komite sekolah, dalam suatu acara di libur Lebaran kemarin. Bahwa di sekolahnya ada beberapa siswa eksodus (berpindah) karena di sekolah baru akan mendapatkan banyak fasilitas yang (lebih) baik. Bahkan dapat bonus dana segar, sungguh ironis persaingan yang sangat tidak sehat.

Persaingan bukan lagi pada ranah kognitif, afektif maupun sikap demi pendidikan karakter. Namun sudah mengarah legalisasi perilaku budaya koruptif yang sedang menjadi ”momok” bangsa ini. Mau dibawa ke mana pendidikan kita bila melihat fenomena ini, maka peran Pemerintah sebagai fasilitator, motivator dan eksekutor ditunggu secara arif bijaksana

Seperti diatur dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 10 tertulis bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gejala tidak sehat wajib dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) demi mengeleminasi keresahan yang terjadi dalam masyarakat.

Maka kekurangan peserta didik yang umumnya terjadi di sekolah swasta harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab di sana banyak guru dan karyawan yang menggantungkan nasib mereka. Pemutusan hubungan kerja (PHK) begitu menghantui sekolah swasta yang kekurangan peserta didik. Pendidikan yang ideal apabila tidak terjadi saling menjatuhkan, namun menjunjung dan mengejar prestasi.

Oleh karena itu pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1) UU Sisdiknas. Pemerintah harus tegas dalam memberikan batas kuota dan sanksi bagi sekolah negeri yang melanggar agar terjaga eksistensi sekolah swasta berdasarkan asas keadilan.

Apalagi bila ditemukan terjadinya pilitik uang ketika semua peserta didik mulai masuk secara serentak pada 23 Juli atau 27 Juli. Monev pemerintah segera ditindaklanjuti dengan meminta sekolah mengirimkan daftar peserta didik baru, baik jumlah maupun kapasitas kelas yang disediakan.

Masukan terjadinya penyimpangan dan pelanggaran dalam PPDB termasuk politik uang segera ditelisik kebenaranya. Agar hak masyarakat untuk mendapatkan transparansi dalam PPDB benar-benar mendapatkan pengakuan. Eksistensi sekolah yang mengutamakan mutu bukan sekadar asa, karena ada tindakan nyata saat terjadi ketidakberesan.

Karena bila melihat kenyataan saat negara belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan (sekolah), keberadaan sekolah swasta masih dibutuhkan dan menjadi pilihan.

Pasalnya, negara juga belum mampu memenuhi kebutuhan semua warga dalam mendapatkan pendidikan murah (gratis). Maka negara bersikap tegas dalam prinsip dan berkeadilan dalam memberikan hak dan peluang yang sama kepada sekolah swasta agar tetap eksis (hidup), demi eksistensi pendidikan (sekolah) bermutu dan berkualitas. (81)

— FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Monday, July 13, 2015

Mudik, konsep dan implementasi

OPINI Harian Joglosemar, Selasa 14 jULI 2015

Oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Mulai awal bulan puasa sampai 10 hari menjelang lebaran Aparat yang terkait dalam perlalulintasan sudah mulai mengatur konsep dan strategi penanganan arus mudik. Sebab penataan arus mudik yang setiap tahun terjadi selalu carut marut kondisinya dalam implementasi pelaksanaannya.

Dibuka dan diresmikannya ruas tol belumlah menjadi solusi yang mencerahkan. Seperti menjadi harapan Kapolri, Badrodin Haiti, bahwa momen lebaran semoga tidak diwarnai kedukaan dan menekankan jajaranya untuk mengantisipasi dalam mengatus lalu lintas mudik. (Kompas.com, 9/7/15).

Kasus kecelakaan di tol Cipali sebanyak 56 kasus padahal baru saja diresmikan sebagai indikasi kurang siapnya Pemerintah dalam penanggulangan risiko. Kecelakaan pada umumnya disebabkan oleh faktor manusia. Kurang disiplinnya para pengendara dengan beban berlebih, tidak patuh aturan dan kelelahan sebagai penyebab utama. Juga kelayakan kendaraan yang tidak optimal. Selain itu penyebab lain faktor topografi Indonesia yang bergunung dan berlembah serta klimatologis yang tidak menentu antara penghujan dan kemarau.

Pasalnya mudik kampung halaman sudah menjadi keharusan dan budaya masyarakat mulai dari kaum marginal sampai borjuis kota Jakarta. Mudik merupakan tradisi masyarakat Indonesia sebagai ”ritual” wajib. Tidak peduli dengan kesulitan mencari ”tumpangan” pulang kampung dengan berdesak-desakan di kereta api/bus/kapal, berhimpitan di jalan raya saat mengendara sepeda motor atau menggunakan mobil pribadi. Yang penting pulang kampung dan ketemu sanak saudara untuk bernostalgia dan melepas rasa kangen.

Ujungnya jutaan warga dari Jakarta pulang kampung halaman dalam waktu yang bersamaan. Fenomena tahunan mudik ke daerah asal untuk bersilaturahmi, beranjangsana, sungkeman kepada orang tua dan bertemu teman lama menjadikan Jakarta “senyap” sesaat. Satu sampai dua minggu sesudah lebaran, kembali Jakarta dipenuhi manusia yang ingin mengadu nasib sejalan dengan arus balik.

Tak ayal lagi, Kota Solo sebagai salah satu persilangan arus mudik akan mendapat ”berkah” luapan arus mudik. Akibat mudik diprediksi ada 14 titik di Kota Solo akan mengalami kemacetan. Menurut Kepala Dishubkminfo Yosca Herman Soedrajat mulai dari kawasan Manahan, Palang Joglo, Simpang Dawung, Simpang Panggung, Simpang Kerten, Jalan kapten Mulyadi, Simpang sebidang Purwosari. Sedangkan titik kemacetan diprediksi juga akan terjadi di simpang Girimulyo, simpang Tugu Wisnu, simpang Jajar, jalan Gajah Mada, simpang Sumber dan simpang tiga Masjid Mujahidin. Untuk tahun ini diprediksi, kemacetan akan semakin parah karena belum rampungnya proyek Jembatan Komplang. (Joglosemar 16/7/13)

Sebagai acara tahunan tentunya segala antisipasi dari Pemerintah tentang kemungkinan masalah yang timbul sudah matang dalam perencanaan. Sebab fenomena problematika yang selalu muncul selalu sama. Mulai dari mahalnya sampai kehabisan tiket kereta api, kapal laut, pesawat udara dan bus, kecopetan, pemerasan, penjambretan, kemacetan sampai kehilangan sanak saudara karena mengalami kecelakaan. Oleh karena itu pengawasan dan pembenahan infrastruktur (lalu lintas) khususnya jalan raya selayaknya menjadi prioritas.

Meski segala tatanan konsep sudah direncanakan secara matang namun tingkat kesadaran masyarakat masih rendah menjadikan banyak masalah timbul di lapangan. Meski kecelakaan saat arus mudik lebaran tahun 2014 menurun sebanyak 16.81 persen dari tahun 2013 sebanyak 3.675 kasus dan 3.057 kasus di tahun 2014. Namun pengawasan di jalur mudik tetap intensif.

Risiko

Sebenarnya pemudik sadar akan resiko yang diperoleh tetapi mudik dengan sepeda motor dilakukan disebabkan keterbatasan dan mahalnya ongkos angkutan umum untuk sampai ke desa asal. Menggunakan angkutan rakyat (bus dan Kereta api) diangap tidak praktis, efektif, efisisen dan memboroskan.

Sebab pendapat mereka mudik tidak hanya harus selalu berada di lingkungan rumah atau keluarganya namun perlu jalan-jalan ke tempat teman, saudara maupun ke tempat rekreasi/ wisata. Membawa motor saat mudik juga dapat menjadi ajang ”pamer” kepada handai taulan bahwa di Jakarta memang mudah mencari rejeki. Masalah lain dan sudah menjadi tradisi pula memanfaatkan suasana lebaran ongkos angkutan umum juga akan naik, mereka akan mremo, suasana lebaran ajang mengeruk untung yang besar. Maka segala resiko mengendari motor jarak jauh sering diabaikan demi sebuah kehendak untuk menghindari segala ”pungutan” yang tinggi.

Berdasarkan keterangan Wakil Menteri Perhubungan (Wamenhub) Bambang Susantono kenaikan jumlah penumpang arus mudik 2013 hanya sekitar 10 persen yang berasal dari semua jenis transportasi, baik darat, laut dan udara. Total pemudik antara 18 juta sampai 20 juta. Hasil survei dilakukan potensinya dari arah 12 kota-kota utama itu kota besar yang terakumulasi seperti Jakarta, Surabaya, Medan. Diprediksi dalam arus mudik tetap ada peningkatan jumlah pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, yakni sepeda motor. (lensa Indonesia.com)

Kondisi

Bisa dibayangkan bagaimana nanti menjelang H-7 sampai hari Lebaran kondisi jalan utama dan alternatif menuju Jawa Tengah. Dipastikan nuansa antrean kemacetan, kesemrawutan dan kelelahan pemudik menjadi fenomena. Oleh karena itu saatnya pembenahan sistem yang membuat pemudik aman dan nyaman perlu dipikirkan secara matang.

Sebab arus mudik juga selalu dipantau oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, Media massa (cetak dan elektronik) dengan memberitakan. Bahkan media elektronik mempunyai program siaran langsung. Pemudik khususnya pengguna motor akan mendapat prioritas pengawalan dari Aparat. Segala kesalahan akan mudah terdeteksi dan tersebar informasinya.

Bila dinalar, mudik dengan menggunakan sepeda motor kadang tidak masuk di akal. Menurut Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Ditjen Perhubungan Darat Dephub bahwa sepeda motor hanya layak di pakai di dalam kota dan tidak layak dipakai antar kota apalagi antar propinsi. Apalagi sepeda motor yang seyogyanya hanya boleh diperuntukkan bagi maksimal dua orang namun diisi tiga sampai empat orang. Belum lagi aneka barang bawaan yang menyertai pemudik motor. Menjadikan fenomena keanehan di jalan raya layak menjadi tontonan yang menarik sekaligus memilukan dan menyedihkan. Sebab penumpang lainnya kebanyakan anak di bawah umur bahkan masih bayi.

Oleh karena itu demi keselamatan bersama, perlu sebuah komitmen dari Pemerintah dan masyarakat. Pemerintah melalui petugas lapangan (Polisi dan petugas DLLAJR) dengan melibatkan Aparat Pemerintahan Kelurahan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) gencar melakukan sosialisasi tentang kesiapan mudik yang santun, tertib, aman dan nyaman.

Berbagai himbauan berupa perintah dan larangan selama perjalanan mudik terkhusus bagi pengendara motor harus selalu disosialisasikan. Dengan mematuhi segala peraturan yang tertulis dalam UU Lalu Lintas dan Jalan Raya. Mulai dari perlengkapan sepeda motor, perlengkapan pemudik sampai jumlah penumpang. Perlu digaris bawahi bahwa tidak ada dispensasi /toleransi bagi pelanggar aturan, sanksinya tegal dengan tilang dan tidak boleh meneruskan perjalanan. Maka dimungkinkan mengurangi aangka kecelakaan lalu lintas.

Meski kondisi jalan raya sudah dinyatakan siap tetap perlu sikap kewaspadaan dan kehati-hatian dalam berkendaraan. Kedisiplin, kepatuhan, kesabaran dan ketertiban dalam berkendaraan diharapkan menjadi perhatian. Saling menghargai, menghormati, santun dan memberi kesempatan jalan bagi kendaraan roda empat atau lebih. Merupakan sebuah kebiasaan yang harus selalu dilakukan oleh siapa saja.

Namun demikian sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk ikut memfasilitasi pemudik yang menggunakan sepeda motor. Kesiapan mobil derek, pengawalan bagi pemudik motor yang ikut dalam jadwal komunitasnya berdasar asal dan perusahaan otomotif. Pembuatan Pos-pos penjagaan darurat (baru) beserta Pos paramedis (kesehatan)dengan petugasnya dalam jarak tertentu. Pemasangan rambu-rambu lalu lintas yang penting (jalan alternatif) serta penggantian yang telah usang. Begitu juga perlu kanalisasi tumbuhnya “pasar tumpah” yang menghabiskan badan jalan setiap menjelang lebaran

Karena banyak Pengusaha otomotif yang berkepentingan pula dalam arus mudik ini. Dalam pelibatannya tetap harus mengikuti konsep dan koordinasi dari Aparat Gabungan yang bertugas. Pengawasan (monitoring), pendampingan, pengawalan konvoi pemudik menjadikan savety (kemananan) bersama terjamin. Sebab Mudik sudah menjadi bagian dari program tahunan Pemerintah meski tidak tertulis dalam Undang-undang.

Usulan untuk mengangkut sepeda motor dan pemudik dengan menggunakan Kereta Api Barang/parcel, kapal laut juga layak diapresiasi. Karena dengan cara ini juga dapat meminimalisir angka kecelakaan dan mengurangi kepadatan arus lalu lintas. Oleh karena itu pemudik sepeda motor dengan jumlah penumpang lebih dari dua seyogyanya diwajibkan menggunakan jasa ini.

Oleh karena sebagai peristiwa tahunan, seharusnya segala perencanan sudah matang. Jangan sampai terjadi lagi ada protes dari anggota Komisi IV DPR bahwa “Pemerintah tidak pernah punya konsep matang dalam menyiapkan penanganan pemudik”. Sebab sudah sembilan tahun jadi anggota legislatif tetapi persoalan angkuan Lebaran sama saja karena gagal dalam implementasi.

Saturday, July 11, 2015

Mengoptimalkan Periode Emas PAUD

Refleksi harian SUARA MERDEKA, 11 Juli 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Maraknya lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di berbagai wilayah tingkat kelurahan/ Desa, bisa menjadi langkah kemajuan bangsa. Tidak lepas dari pencanangan pemerintah dalam program Indonesia Emas pada 2045. Artinya, generasi yang kini masih menempuh pendidikan PAUD harus lebih diperhatikan. Maka dibutuhkan dana stimulus yang memadai dari pemerintah guna mewujudkanya.

Oleh karena itu saat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Solo mengusulkan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi lembaga penyelenggara PAUD. Perlu apresiasi dan dukungan dari stakeholder pendidikan, demi meningkatkan kualitas. Meski sebelumnya sudah ada Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) bagi lembaga PAUD dari pemerintah pusat meskipun kuotanya masih terbatas.

Perkembangan yang signifikan sejak dibentuknya Dirjend Paud tahun 2001. PAUD merupakan kebutuhan pokok bagi anak usia super untuk mendapatkan pengembangan, pendidikan dan pendampingan yang benar.

Namun sejauh mana tren menjamurnya PUD sejalan dengan kebutuhan dan dinamika dari kepentingan pendidikan demi menyongsong generasi emas? Apakah tujuan pendirian PAUD sudah sesuai dengan idealtypus (gambaran yang dicita-citakan) oleh aturan yang ada?

Anak usia dini adalah sosok individu yang sedang mengalami proses perkembangan dengan pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya, dengan rentang usia 0-8 tahun. (Berk L.E @ Winsler. 1992). Lebih jauh dikatakan oleh Montessori (2004) bahwa pada masa ini merupakaan saat anak mulai sensitif untuk menerima berbagai rangsanagan. Oleh karena itu PAUD merupakan masa peletak dasar pertama dalam pengembangan kemampuan kognitif, motorik dan emosional. Dibutuhkan kondisi yang kondusif pada saat pemberian stimulasi.

Kadangkalan menjadi persolan serius saat pendirian PAUD hingga ke pelosok-pelosok desa tanpa dibarengi dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai. Malahan menimbulkan masalah baru dengan kelengkapan yang seharusnya menjadi daya dukung utama dan tenaga gurunya yang kurang professional.

Bila keberadaannya asal asalan menjadikan bangunan tanpa sebuah fondasi yang kuat. Sebagai pengalokasian uang anggaran baik melalui BOP dan BOS tanpa mekanisme prosedur, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi yang jelas. Sebagai penghabisan anggaran proyek demi mewujudkan pelaoran. Ironis sekali.

Jangan heran pendirian PAUD seadanya dan hanya pemenuhan target untuk memenuhi tingkat partisipasi pelayanan dari PAUD sesuai dengan tuntutan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas tanpa manajemen profesional. Karena bila dilihat dari tingkat partisipasi PAUD masih rendah dibandingkan dengan ASEAN yakni dibawah 20, dimana Vietnam telah mencapai 43, Thailand 86, Malaysia 89 serta Filipina 27.

Pendidikan yang benar

Dengan demikian menjadi salah kaprah baik dari keinginan atau ambisi orang tua maupun metode yang diberikan kepada proses PAUD. Hakekatnya anak usia dini merupakan periode emas (golden gate) atau periode kritis bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan yang benar. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dalam rangka pengembangan pribadi dan tingkat intelegensinya sesuai dengan minat dan bakat (Pasal 29 ayat 1).

Seringkali orang tua sangat memaksa dan bangga bila di usia dini anaknya sudah bisa membaca dan menulis. Akan semakin memberi apresiasi kepada lembaga PAUD bila ditambah dengan kemampuan lain termasuk berbahasa asing. Padahal ini semua keliru, sebab masa anak usia dini merupakan masa bermain, pertumbuhan, pembentukan karakter dan kepribadian. Maka menjadi penting bila didampingi dan dibimbing oleh guru yang paham dan mengetahui masalah psikologi perkembangan anak.

Berdasarkan hasil penelitian sekitar 50 persen kapabilitas kecerdasan orang dewasa terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80 persen terjadi ketika berumur 8 tahun dan mencapai titik kulminasi ketika berumur sekitar 18 tahun. Berarti perkembangan 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan pada 14 tahun berikutnya.

Maka jangan sampai salah proses dan metode dalam mendidik anak usia dini. Salah kaprah pengertian orang tua dan tuntutan dan penggelola lembaga pendidikan PAUD akan sangat menjerumuskan masa depan anak didik itu sendiri. Begitupula sumber dana PAUD yang semakin besar perlu diawasi dengan benar. Sebab penyalahgunaan baik anggaran maupun metode pengajaran, akan menghancurkan cita-cita menyongsong generasi emas.

Maka dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) pendamping anak-anak PAUD yang mendapatkan bekal dan persiapan memadai dalam hal dasar- dasar didaktik, menguasai masalah psikologis dan dalam pemenuhan dasar biologis (kebutuhan) anak usia dini. Demi pelaporan dana BOS dan BOP perlu didikik manajemen perofeional pengelolaan PAUD.

Salah kelola PAUD akan berdampak dari pemaksaan akan melahirkan generasi yang mudah menyerah, loyo, kurang semangat, bosan, putus asa bahka sampai mogok belajar ketika dewasa. Kesalahan dari sistem PAUD yang seharusnya berdasarkan hakekat belajar dari balita adalah belajar sambil bermain (learning by doing). Disini akan memacu berkembangnya power of being (citra diri, aktualisasi diri), power of knowing (rasa ingin tahu, menemukan hal yang baru) dan power of felling (berbagi, solidaritas, empati).

Maka pemerintah harus mensosialisasikan dan menegaskan bahwa pada jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) tidak boleh menetapkan kemampuan syarat baca, tulis dan hitung sebagai syarat penerimaan peserta didik baru.

Maka jenjang PAUD sebagai pijakan pendidikan lanjut dalam prosesnya tidak harus membebani peserta didiknya. Karena metode pendekatan di PAUD lebih pada aspek motorik, seharusnya lebih menekankan pengembangan soft skill dengan cara bermain, seperti kesopanan, kepatuhan, kejujuran, kedisplinan, tertib sebagai fondasi pendidikan karakter.

Berimplikasi bagi anak dengan membangun dunianya menjadi lebih baik dan mendapatkan perlakuan penuh kesabaran, simpati dan kehangatan kasih sayang untuk berkembang secara benar. Ketika dikelola dengan manajemen dan dibimbing oleh SDM professional. Harapannya, pendidikan PAUD diberikan melalui metode pendidikan yang benar sesuai dengan karakter dari anak usia dini tersebut dengan manajemen profesional. Guna mendukung rencana Pemerintah untuk meningkatkan angka partisipasi kasar dari PAUD non formal dan informal tahun 2015 bisa mencapai 75 persen, demi menyongsong Indonesia emas tahun 2045.



penulis adalah Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta

Wednesday, July 01, 2015

Perpustakaan Basis Kreatif dan Inovatif

Opini Harian Joglosemar 1 Juli 2015

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

TAHUN ajaran baru dengan semangat KTSP dan kurikulum 2013 menjadi penyemangat guru dan siswa. Namun demikian salah satu penunjang kesuksesan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) dan peran perpustakaan sebagai basis pembelajaran kreatif dan inovatif harus dioptimalkan. Oleh karena itu saat membaca kembali usulan Agus M. Irkham “ Penjara Sementara Perpustakaan,” merupakan bentuk skeptis dari keberadaan perpustakaan. Bukan sebuah perubahan paradigma fungsi dan kedudukan perpustakaan yang dibutuhkan pengendalian emosi dan solusi eksistensi.Namun bagaimana dalam berbagi peran dalam KBM,

Seperti dikatakan Alfin Tofler The illiterate of the future will not be the person who cannot read. It will be a person who does not know how to learn. Permenungan dengan munculnya stigma negatif perpustakaan. Berefek dimasa yang akan datang orang yang buta huruf bukan semata-mata orang yang tidak dapat membaca. Yang paling celaka, dia akan menjadi orang yang tidak tahu bagaimana caranya belajar.

Keprihatinan dari Aflin Tofler di Indonesia diyakinkan oleh pernyataan Taufik Ismail. Budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat menurun dibanding dengan masa penjajahan Belanda. Semasa Jaman Belanda selama tiga tahun sekolahnya wajib membuat 106 tulisan dan membaca 25 buku sastra yang terdiri dari 4 bahasa yaitu Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis.

Perpustakaan sendiri merupakan salah satu sarana wajib dari kehidupan sekolah berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007. Banyak orang berpendapat perpustakaan merupakan nadi, ruh, napas, otak dari sekolah. Maka sudah keharusan optimalisasi pemberdayaannya oleh stakeholder sekolah.

Dari perpustakaan merupakan tempat mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, kreatifitas dan inovatif warga sekolah. Tidak hanya sebatas alternatif dari PBM (proses Belajar Mengajar), harapannya menjadikan perpustakaan menjadi rumah kedua mereka. Oleh karena itu bagaimana sekarang kita (guru) memotivasi siswa untuk rajin berkunjung dan terlibat?

Karena di sana siswa diharapkan menjadi orang yang gemar membaca. Pilzer (1994) mengatakan sekurang-kurangnya ada enam kompetensi dasar kepandaian. Meliputi kecakapan (gemar) membaca (read), kesenanganmenulis (write), kesukaan mendengarkan (listen), keterampilan berbicara (speak), kemampuan berhitung(calculate), dan selalu berfikir kritis (reason).

Oleh karena itu mengupayakan perpustakaan menjadi menarik bukanlah sekedar wacana. Menjadikan ruang perpustakaan nyaman, menyenangkan, kondusif sebagai ajang berkumpul, mencari ide, menularkan gagasan dengan membaca dan menulis melahirkan karya kreatif dan inovatif.

Usahakan sarana perpustakaan sekolah dengan desain, setting yang dilengkapi dengan buku-buku “bermutu”. Baik berupa buku bacaan (Sastra, iptek, politik, ekonomi, hukum, budaya, social, UU, religi dan lain-lain), jurnal, buku penunjang pelajaran, majalah, Koran, kliping, meja belajar, bangku, TV, VCD, tape recorder, komputer serta ruang dan gedung yang repersentatif.

Sebab dalam UU No. 43 tahun 2007 ditegaskan kewajiban Pemerintah untuk menggalakkan promosi gemar membaca dan memanfaatkan perpustakaan (pasal 7 butir e). Meningkatkan kualitas dan kuantitas koleksi perpustakaan (butir f) dan dalam butir c menjamin ketersediaan keragaman koleksi perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia).

Kelengkapan ruang baca, rak buku yang tertata sesuai dengan disiplin ilmu, ruang diskusi yang kondusif dan tempat pelayanan petugas yang asri (bersih, rapi, indah) merupakan kebutuhan ideal. Membuat kebetahan membaca dan menulis sebab, kelengkapan ruang baca dan menulis signifikan dengan jumlah warga sekolah..

Begitupun di Era Teknologi Informasi dibuat literatur yang menunjang PBM dalam kurikulum baru (2013), siswa diberi kebebasan dalam pemanfaatannya, dengan menghubungkan (connect) Internet. Mencari literatur dengan akses melalui E-Book dan E-Library (Electronik Perpustakaan). Pengunjung memperoleh sebuah informasi yang cepat dan tepat (up to date) dalam segala hal.

Karena sistem informasi perpustakaan dapat didefinisikan: “ sebuah sistem terintegrasi, sistem manusia mesin, untuk menyediakan informasi yang mendukung operasi, manajemen, dan fungsi pengambilan keputusan dalam sebuah perpustakaan”. Sistem ini memanfaatkan perangkat keras dan perangkat lunak komputer, prosedur manual, model manajeman, dan pengambilan keputusan basis data ( Robert K Leitch, dan K. Roscoe Davis.1983)

Sebuah dukungan yang melahirkan kreatifitas dan inovasi. Perustakaan menjadi basis membaca, menulis , menumbuhkan rasa kemanusiaan, empati dan berlogika perlu dukungan dan semangat warga sekolah.

Optimalisasi

Memulai gemar membaca haruslah dilakukan di sekolah. Melalui tugas dan model pembelajaran perpustakaan sebagai optimalisasi peran dan basis akan mengubah budaya masyarakat Indonesia yang suka bicara, mendengar dan melihat. Budaya lisan harus mulai disingkirkan dengan habitus baru membaca dan menulis.

Perubahan tradisi ini akan mengubah kebiasaan bermain, corat-coret, nge-game, kongkow-kongkow, ngobrol, grumpi dan nggossip yang justru tidak menjadikan manusia kritis. Optimalisasi Perpustakaan menjadikan manusia tidak mudah putus asa, loyo, melempem, tiada daya juang, pesimis dan mudah diprovokasi yang melahirkan tindakan destruktif, merugikan kepentingan masyarakat.

Kebiasaan membaca sebagai kebutuhan akan sering kita temui banyak orang melakukan aktifitas ini di setiap kesempatan. Sering membaca, berdiskusi dalam kelompok kecil di waktu luang dan menulis di perpustakaan memunculkan ide kreatif.

Oleh karena itu seorang guru harus memulai lebih dahulu mengadakan “aksi” membaca dan melahirkan inovasi kreatif. Tugas di Perpustakaan tidak sebatas pembelajaran bahasa, karena semua mata pelajaran sangat membutuhkan buku acuan lain (referensi) yang memperkuat teori dalam setiap mata pelajaran. Sebuah reward(penghargaan) bagi siswa yang aktif berkujung ke perpustakaan.

Menurut Friderich Scheneider model pembelajaran lama harus di rubah. Sebab mengajar bukan hanya menghantar pengetahuan pada siswa tetapi juga mengembangkan bakat siswa, membentuk kemampuan untuk mengerti, menilai dan menyimpulkan juga memberikan bahan pengajaran yang membantu siswa untuk mengembangkan fantasi, empati, serta hasrat-hasratnya. (Sindhunata, 2000).

Dari sinilah konsep perpustakaan basis pembelajaran, ditumbuh kembangkan. Upaya eleman masyarakat mengadakan perpustkaan keliling, rumah perpustakaan, perpustkaan kolektif, pondok baca mandiri atau apapun bentuknya bukanlah kesia-siaan.

Hakekat aktif membaca akan membuka cakarawala baru dalam berpikir dan bertindak. Dari sini muncul refleksifitas diri, motivasi, empati serta kreatifitas inovatif.Apalgi dengan berlakunya kurikulum 2013 secara serentak di tahun ajaran baru 2014-2015 ini.