Sunday, February 28, 2016

Pelatihan guru pasca UKG

OPINI harian Joglosemar, 26 Februari 2016

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

Uji Kompetensi Guru (UKG ) sudah usai. Saatnya menunggu janji Pemerintah untuk melakukan pelatihan guru bagi yang belum mencapai standar nilai minimal 55 (lima puluh lima). Seperti halnya sebanyak 4.068 guru di kota Solo nilanya masih di bawah 55. Padahal Pemkot Solo tidak mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk Diklat guru.

Permasalahan usai UKG 2012 akankah terulang lagi di tahun 2015 ini? Saat tidak terpenuhinya janji Pemerintah untuk melakukan pendidikan dan latihan (Diklat) bagi guru bersertifikasi yang nilai kompetensinya di bawah rata-rata. Ibaratnya Pemerintah dalam hal ini Kementrian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) bagai kegedeen empyak kurang jagak, banyak kemauan tetapi kurang siap.

Ingkar janji dengan meniadakan Diklat UKG 2012. Pemerintah hanya akan memberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) persiapan pelaksanaan ku­rikulum 2013. Menurut Kepala Badan Pengem­bang­an Sumber Daya Manusia dan Pen­jamin Mutu Pendidikan, Kemdikbud, Syawal Gultom, dengan adanya kurikulum baru maka pelatihannya juga dikaitkan dengan ku­rikulum baru, dijadikan satu.

Berita di media Solo menyebut, sejumlah 4.068 guru bukanlah angka yang sedikit, meski hanya 42 % dari jumlah peserta UKG kota Solo yang diikuti sebanyak 9.661 orang. Perincian yang harus mengikuti Diklat UGK terdiri dari 38 orang pengawas, 90 orang guru pendidikan anak usis dini (PAUD), 499 guru taman kanak-kanak (TK), 1.416 guru Sekolah Dasar (SD), 754 guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), 267 guru Sekolah Menengah Atas (SMA), 831 guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan 174 guru (PLB) pendidikan luar biasa.

Padahal yang menjadi polemik sebelumnya saat penilaian UKG mengesampingkan dua kompetensi lain (Kepribadian dan sosial) berarti yang dinilai hanya aspek kognitif. Seperti halnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selama ini juga mengesampingkan aspek afektif dan psikomotorik. Tiadanya petunjuk teknis (Juknis) pelatihan guru yang belum mencapai angka minimal seolah program yang belum pasti.

Anomali

Hasil UKG dan pembenahan atau perbaikan kompetensi guru melalui Diklat seolah anomali, antara tuntutan, hasil dan progress. Tuntutan berkualitas hanya melihat satu aspek dengan mengabaikan aspek lain. Padahal menjadi profesional membutuhkan sebuah proses, tidak hanya dinilai dalam hitungan jam dengan mengerjakan soal obyektif (pilihan ganda) semata.

Saat guru menagih janji demi perbaikan kualitas diri, karena merasa kurang kompetensi. Lalu saat Pemerintah tidak mampu memenuhinya. Apakah dengan hasil nilai pendidikan nasional kurang memuaskan, guru yang dipersalahkan? Inilah yang dirasakan guru, akan ketidakadilan dalam memberikan stigma atau perlakuan.

Hasil uji kompetensi yang tidak komprehensif berarti menodai dari ruh UU Pendidikan dan UU Guru. Lebih jelas lagi yang diuraikan dalam Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru.

Guru sendiri dalam bahasa jawa diakronimkansebagai sosok yang di gugu lan ditiru (menjadi panutan) peserta didiknya. Berarti kompetensinya melibatkan kepribadian yaitu kemampuan berkenaan kemantapan dan integritas kepribadian guru sesuai dengan agama, hukum, kebudayaan, jujur, teladan, mantap, stabil, beretos kerja, tanggung jawab, bangga dan rasa percaya diri yang mantap.

Sedangkan kompetensi sosial lebih kepada kemantapan yang dimiliki guru dalam berkomunikasi, bekerja sama, bergaul, simpatik, ramah dan mempunyai jiwa yang menyenangkan. Penilaian ini dapat diperoleh dalam sikap dan perbuatan guru dalam kehidupan sehari hari.

Lalu bagaimana seharusnya guru yang nilai kompetensi UKG di bawah rata-rata, seharusnya ditindak lanjuti dengan Diklat demi pemenuhan standar kompetensi. Namun anggaran dalam APBN dan APBD belum siap atau tidak di alokasikan. Berarti harapan pemenuhan guru berstandar nasional batal alias gagal.

Dapat dikatakan rendahnya nilai UKG dan dibatalkannya Diklat berarti kegagalan program Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud. Selain peserta UGKyang belum memenuhi standar minimal, merupakan produk Pendidikan Latihan profesi Guru (PLPG).Segala koreksi dan inovasi perbaikan tidak berjalan dengan semestinya.

Ini sebuah anomali dan bagian evaluasi dari Kemendikbud sebelum mencanangkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Yaitu guru-guru yang memiliki nilai kompetensi baik dari hasil UKG dan berpeluang mengikuti Diklat persiapan pelaksanaan kurikulum nasional yang secara resmi dan harus dilaksanakan pada tahun ajaran 2016-2017.

Ketidak siapan

Ketidaksiapan Kemendikbud dalam melaksanakan, mengevaluasi dan menindak lanjuti Diklat pasca UKG layak di kritisi. Dana puluhan miliar dari rakyat, mestinya bisa dipertanggung jawabkan. Sebab alokasi dana yang sangat besar, hasil tidak maksimal bisa membuat kegusaran rakyat.

Sebuah Ketidakpuasan “pelanggan” baik guru maupun stakeholder pendidikan. Ketidakpastian Diklat bisa memicu ketidakpercayaan rakyat kepada kemendikbud dalam mengelola sistem manajemen profesionalitas pendidikan.

Meski tujuan UGK hanya pemetaan penguasaan kompetensi guru (pedagogik dan profesional) belaka. Namun bila pelaksanaan hanya sekedar ada/ jalan (menghabiskan dana proyek) dan tidak sesuai dengan tujuan awal . Dengan ditiadakannya Diklat maka merupakan bukti dan fakta ketidaksiapan Pemerintah mengelola anggaran.

UKG seharusnya menjadi entry point (salah satu syarat) penilaian kerja guru dan sebagai alat kontrol. Diklat merupakan tindak lanjut dari pemerataan dan keseimbangan profesional, maka saat Pemerintah mengalihkan untuk persi­ap­an implementasi kurikulum ba­ru. Seolah kurikulum baru mereduksi upaya meningkatkan kualitas guru dan mutu pendidikan.

Oleh karena itu dengan segera pelaksanaan kinerja guru ditindak lanjuti dengan program pengembangan dan penilaian yang lebih jelas. Program Pembinaan Keprofesionalan (PK) dan PKB wajib dilakukan setiap tahun guna persyaratan kenaikan pangkat dan jabatan fungsional sebuah kebutuhan pendidikan.

UKG, hasil dan Diklat bukan masalah yang mempengaruhi tunjangan profesi . Namun penilaian harus terintegrasi , terencana, berkeadilan termasuk kesiapan melaksanakan Diklat sebagai program tindak lanjut.

Kemendikbud perlu memberikan penjelasan berkenaan belum pastinya menyelenggarakan Diklat bagi guru yang berkompetensi di bawah rata –rata. Karena kompetensi guru dari UKG harus seimbang dan menyeluruh bukan tebang pilih dengan mengorbankan program peningkatan mutu guru. Maka wajar bila guru menagih kepastian Diklat demi memenuhi tuntutan profesional. Bukan hanya rencana atau janji pemberian Diklat. Semoga! **

Friday, February 05, 2016

Pers yang membela rakyat

OPINI, Harian Joglosemar, Sabtu 6 Februri 2016

FX Triyas Hadi Prihantoro Pemerhati media, tinggal di Solo

EMBRIO lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari Kota Solo. Muncul sejak tahun 1914 yang semula dengan nama Islandsche Journalisten Bond. Selanjutnya berkembang di Semarang pada tahun 1931. Maka tidak heran untuk mengenangnya di kota Solo berdiri Monumen Pers Nasional guna mengenang lahirnya Pers (PWI).

Namun hakekatnya dunia Pers (jurnalisme) yang menjadi pilar ke empat demokrasi (kekuasaan) setelah kegislatif, eksekutif dan yudikatif. Justru semakin disegani karena ketajamannya dalam melakukan fungsi dan tugasnya sebagai “anjing penjaga.” Pers era reformasi memiliki peranan penting demi menggiring opini publik guna melawan kezaliman.

Tema hari pers nasional (HPN) tahun 2016 “Kemerdekaan Pers dari dan untuk Rakyat ” sangat aktual untuk menjadi inspirasi bagi insan pers. Semakin nyata mengaktualisasikan salah satu tuntutan masyarakat modern dari Pers. Yaitu Menyajikan laporan tentang kejadian sehari hari secara jujur, mendalam dan cerdas

Hingar bingarnya informasi, masifnya korupsi, ancaman terorisma, maraknya komunitas baru, perang narkoba dan silang sengkarut permasalahan bangsa. Pers harus tetap tajam dalam memberikan informaIi yang akurat dan terpercaya. Sebagai upaya dalam mengambil peran sebagai sumber informasi.

Maka di era transparansi (keterbukaan) eksistensi Pers di tengah masyarakat sangat diperlukan. Masa kebebasan pers dan transparansi dengan optimalisasi keberadaan sarana komunikasi menjadi penting. Dimana fungsi utama Pers sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan dan kontrol sosial (pasal 3 UU Pers).

Karena ketiga kekuasaan yang ada dianggap sudah tidak bertaring, bernyali dan berindikasi sebagai sarang koruptor. Maka peranan pers sungguh diharapkan, khususnya dalam upaya membantu menghambat, berinvestigasi terhadap konspirasi dan menjadi penyeimbang.

Maka di Negara demokrasi dimana Pers di beri kebebasan secara penuh dan konstruktif dalam melakukan perannya dengan fungsi kontrol dan mengoreksi ketiga kekuasaan (UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers). Optimalisasi peran bukti keseriusan sebab dibutuhkan sistem komunikasi yang efektif.

Oleh karena itu setiap warga negara memiliki keterlibatan penuh dan partisipasi yang tinggi terhadap pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan umum. Hal itu sudah sangat jelas diatur dan dilindungi oleh UUD 1935 hasil amandemen (pasal 28F). “ Setiap orang berhak untuk berkomunikasi memperoleh informasi untuk mengembangkan probadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan manyampaikan informasi dengan menngunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Dengan Pers diharapkan segala kemasahalatan bangsa dapat tercapai. Pasalnya Pers lah alat yang dapat menjadi “penyambung lidah rakyat” yang paling efektif, efisien dan langsung mengena kepada pihak pihak yang menjadi sasaran dari pemberitaan. Pers harus merdeka demi kepentingan rakyat.

Ibarat sebuah belati, Pers sangat bebas dan terbuka dalam upaya melukai siapa saja, bisa menusuk, mengiris, mencincang dengan membuka aib seseorang. Namun melalui belati Pers juga dapat meraciki makanan yang kita senangi melaui irisannya, sehingga setiap orang juga bisa semakin terkenal, dikagumi, disanjung menjadi tampil memesona karena dicitrakan oleh Pers secara positif. Seperti halnya Presiden Jokowi menjadi media darling, sebelum menjadi orang nomer satu di Indonesia.

Begitu pula belati Pers juga bisa berfungsi sosial dan membela diri saat dibutuhkan dengan hak jawab terhadap suatu berita seperti tertulis dalam kode etik Jurnalistik PWI pasal 4 dimana setiap pemberitaan yang tidak benar dan ada pihak yang dirugikan mempuyai hak jawab dan perbaikan dari berita, Begitu pula melaui Pers mempunyai hak tolak terhadap suatu pemberitaan. Bisa juga bila dilihat fungsi human interest dari Pers. Melalui foto, feature, life story, segala kenistaan bisa diangkat dan mendapat simpati pembaca. Contoh dari akibat dari ketidak adilan (kasus mbok Minah dan Prita) demikian juga melalui Pers dapat dapat menolong dan menyelamatkan nyawa banyak orang dengan menumbuhkan rasa simpati dan Empati.

Jati diri

Hakekatnya Pers di Indonesia saat ini (reformasi) hidup dengan bebas dengan segala ketajamannya. Masa Reformasi saat ini, ibarat cendawan di musim hujan ratusan Pers (cetak), visual dan puluhan audio visual maupun online tumbuh subur dan berkembang. Kesannya sangat meriah, namun masyarakatlah yang mampu menilai Pers tersebut.

Pasalnya ada pers yang warna warni, biasa saja maupun yang menekankan kualitas dan mutu. Ada Pers yang sudah mapan namun tidak sedikit Pers yang sakit-sakitan dan kembang kempis dalam menjalankan roda kehidupan. Semuanya tentu sangat bermanfaat dan dibutuhkan demi terjaganya medan demokrasi yang sudah mulai mapan seperti sekarang ini.

Banyak sekali kasus yang mulanya dianggap sebelah mata oleh Penguasa namun berkat Pers menjadi semakin kuat, kokoh dan mampu menaklukkan. Bisa dilihat dari mencuatnya kasus Ageline, Kopi “vietnam” Maut , aksi terorisme, perang terhadap narkoba sampai penyalahgunaan kekuasaan oleh Ketua DPR. Disini Pers berani menjadi penyejuk, meredam provokasi dan menjadikan kejelasan berbagai informasi.

Pers sesuai jati dirinya menyuarakan kebenaran, Menjadi suara masyarakat yang tertindas oleh para penyalah gunaan kekuasaan. Pers harus menjadikan trust (kepercayaan) mayarakat dalam menyampaikan informasi. Kegaduhan KPK dengan Polisi harus segera diredam melalui pemberitaan pers yang kondusif. Jangan sampai bangsa terpecah belah.

Oleh karena itu sebagai bentuk reflesi dari insan pers dapat menjadikan bentuk Pandora di dalam perjalanan Pers kekinian. Karena Pers Indonesiapun mengalami pasang surut dalam perjalanan hidupnya. Pernah kehidupan masa Pers Liberal (1950-1956), Pers Otoriter (1965-1960), Pers yang dipengaruhi komunis dan marxisme (1960-1965), pengekangan pers oleh penguasa orde baru (1966-1998) dan Pers kebebasan reformasi (1998-sekarang).

Sejak awal reformasi kita mengalami kebebasan Pers. Oleh karena itu, UU Pers menjadi lebih trengginas, maju semakin kuat dan hebat. UU Penyiaranpun berkembang dengan pesat. Pers harus semakin berani menyuarakan kebenaran dan keadilan dengan menjauhi “kekuasaan.”

Maka lebih dari tujuhbelas tahun reformasi Pers harus makin menemukan jati dirinya, suka tidak suka Pers sudah semakin mengutamakan kepentingan rakyat demi kemakmuran bangsa. Dengan menciptakan keterbukaan dan keadilan.

Prinsip dalam era keterbukaan di Negara demokrasi. Apapun yang hendak dilakukan penguasa (birokrat) untuk mengekang dan menumpulkan informasi pasti akan mendapatkan perlawanan yang hebat dari masyarakat melalui Pers. Masyarakat sudah melek informasi dan mengharap keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Selamat Hari Pers, semoga semakin menemukan jati dirinya. Seperti tertulis dalam UU No. 40 tahun 1999 pasal 6 bahwa ”salah satu perananan Pers memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran” dengan segala informasinya. ***